Seumpama ditanyakan padaku pekerjaan apakah yang teragung dalam
hidup ini, niscaya akan kukabarkan pada siapapun bahwa pekerjaan itu tidak lain
adalah membaca. Membaca adalah kunci cahaya. Membaca adalah kunci
menuju cahaya. Saat ‘ilmu’ dikatakan sebagai cahaya maka membaca itulah
kuncinya. Dan siapa pun yang memahami membaca berikut rahasianya dengan serta
merta ia akan pula mengetahui kunci-kunci cahaya yang ada di langit dan di
bumi.
“Aku ini”, begitu kata Tuhan, “adalah kanzun khasanah
atau gudang kebaikan yang ingin dikenal oleh makhlukKu”. Dan mereka yang
berhasil memasuki gudang kebaikan Tuhan tidak lain adalah orang-orang yang
membaca. Membaca di sini bukanlah mengeja
huruf, bukan pula mengeja kata, bukan
mengeja dan menghitung angka melainkan mengalami “pengetahuan” itu sendiri.
Huruf, kata-kata juga angka-angka itu hanyalah satuan tanda yang digunakan
untuk mengikat cahaya-cahaya pengetahuan yang halus untuk terbaca. Dalam pada itu, maka sungguh dalam membaca tiap diri akan selalu
berurusan dengan huruf-huruf, angka-angka juga kata-kata. Akan tetapi membaca
yang benar bukanlah hanya mengeja huruf, bukanlah mengeja angka, dan mengikuti
kata-kata, melainkan mengalami huruf, mengalami angka, mengalami kata-kata
sebagai tanda atas dari sesuatu yang lebih agung.
Huruf, angka, juga kata-kata hanyalah beberapa hal dari ribuan hal
yang mampu dibaca dan menjadi tanda atas makna-makna dibaliknya. Teriakan
Jibril pada rasul dengan kata-kata: Bacalah dengan nama Tuhan yang
Mahamenciptamu. Bukanlah peristiwa sederhana yang membuat rasul kemudian terpaku pada huruf
juga kata-kata, akan tetapi peristiwa indah yang membawa rasul mengalami
pembebasan diri dalam melakukan pekerjaan agung bernama membaca. Begitulah
sejak itu rasul kemudian menyeru siapapun untuk membaca. “Bacalah sungguh
dengan cinta; bacalah dengan keimanan yang suci sungguh pun itu hanya satu
tanda. Sebab Tuhan sesungguhnya mencintai orang-orang yang mau membaca.
Ia yang piawai dalam membaca tidak akan tertipu tipuan-tipuan
dunia. Sementara ia yang gagal dalam memabaca akan terjerumus dalam
penderitaan-penderitaan dan kepayahan-kepayahan yang sia-sia. Dan dalam hal ini
seorang sufi berkata, di dunia ini tidak ada tanda atau rambu-rambu yang
keliru, sebaliknya yang ada hanyalah para pembaca yang mudah tertipu sebab ia
bodoh dan lalai dalam membaca.
Membaca yang pertama yang dilakukan rasul bukanlah membaca sesuatu
diri sendiri. Dari itulah setelah rasul membaca diri sendiri baru kemudian ia
mengucapkan sahadat. Bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah.
Dan Muhammad adalah Rasulullah. “Ana rasulullah”. Aku adalah utusan Tuhan,
utusanAllah, begitu kata rasul. Ucapan itu bukanlah ucapan sederhana yang
remeh, sebaliknya kalimat agung yang sangat menggetarkan dada siapapun, yang
itu lahir dari pekerjaan agung bernama membaca.
Membaca melibatkan banyak hal mulai dari penglihatan, pendengaran,
hati juga pikiran. Dalam pada ini pulalah tingkatan diri dalam membaca terjadi.
Mulai dari tingkatan membaca yang begitu umum, khusus dan
terdapat pula yang membaca dalam tingkatan khawasul khawas. Tingkat
yang pertama selalu membaca sesuatu dengan harfiah dan umum. Maka jika hidup
itu ibarat buku, membaca mereka hanya sampai pada judul bukunya saja, dan tidak
tahu isi dari buku tersebut. Kemudian terdapat pula pembaca yang hanya telah
membaca hingga stadium kalimat. Di mana ia memahami berbagai hal dari
kalimat-kalimat. Lebih jauh lagi saat cahaya-cahaya pengetahuan diperhalus ke
dalam ruang huruf mereka tidak sudah tidak sanggup memahami. Dan hanya mereka
yang makrifat akan dirinya sendirilah yang sanggup membaca cahaya yang terikat
dalam satu-satuan huruf yang seakan menurut orang tidak terbaca.
Mereka itulah orang-orang yang memahami apa itu membaca. Dengan
membaca mereka mengetahui aneka macam rahasia mulai dari rahasia kesucian,
rahasia istiqomah, rahasia kebahagian bahkan diajarkan pula kimia kepedihan.
Maka begitu seorang sufi berujar pada para murid-muridnya:“Siapakah kekasih Allah itu? begitu ucapnya. “Kekasih Allah adalah
mereka para diri yang halus dalam membaca. Merekalah yang tiap saat hati dan
akalnya selalu membaca, sehingga mereka mengetahui tidak ada satu wujud
keindahan dan keagungan selain hanya wujud dan keindahan Tuhan semata. Sebab
mereka membaca dengan hati suci dan rendah hati, ingatan-ingatan
(dzikir-dzikir) mereka pun selalu suci dan hanya terpaut pada Dia yang
Mahasuci. Oleh sebab itulah, “pendengaranKu” begitu kata Allah, “akan menjadi
pendengaran mereka, penglihatanKu menjadi penglihatan mereka, perbuatanKu pun
menjadi perbuatan mereka. Dalam pada merekalah iradatKu berada. Maka jika kau
kekasihku, begitu kata Tuhan,niscaya kun iradatKu ada dalam
kehendakmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar