Selasa, 21 November 2017

MEREKA YANG MEMBACA

Seumpama ditanyakan padaku pekerjaan apakah yang teragung dalam hidup ini, niscaya akan kukabarkan pada siapapun bahwa pekerjaan itu tidak lain adalah membaca. Membaca adalah kunci cahaya. Membaca adalah kunci menuju cahaya. Saat ‘ilmu’ dikatakan sebagai cahaya maka membaca itulah kuncinya. Dan siapa pun yang memahami membaca berikut rahasianya dengan serta merta ia akan pula mengetahui kunci-kunci cahaya yang ada di langit dan di bumi.
“Aku ini”, begitu kata Tuhan, “adalah kanzun khasanah atau gudang kebaikan yang ingin dikenal oleh makhlukKu”. Dan mereka yang berhasil memasuki gudang kebaikan Tuhan tidak lain adalah orang-orang yang membaca. Membaca di sini bukanlah mengeja
huruf, bukan pula mengeja kata, bukan mengeja dan menghitung angka melainkan mengalami “pengetahuan” itu sendiri. Huruf, kata-kata juga angka-angka itu hanyalah satuan tanda yang digunakan untuk mengikat cahaya-cahaya pengetahuan yang halus untuk terbaca. Dalam pada itu, maka sungguh dalam membaca tiap diri akan selalu berurusan dengan huruf-huruf, angka-angka juga kata-kata. Akan tetapi membaca yang benar bukanlah hanya mengeja huruf, bukanlah mengeja angka, dan mengikuti kata-kata, melainkan mengalami huruf, mengalami angka, mengalami kata-kata sebagai tanda atas dari sesuatu yang lebih agung.
Huruf, angka, juga kata-kata hanyalah beberapa hal dari ribuan hal yang mampu dibaca dan menjadi tanda atas makna-makna dibaliknya. Teriakan Jibril pada rasul dengan kata-kata: Bacalah dengan nama Tuhan yang Mahamenciptamu. Bukanlah peristiwa sederhana yang membuat rasul kemudian terpaku pada huruf juga kata-kata, akan tetapi peristiwa indah yang membawa rasul mengalami pembebasan diri dalam melakukan pekerjaan agung bernama membaca. Begitulah sejak itu rasul kemudian menyeru siapapun untuk membaca. “Bacalah sungguh dengan cinta; bacalah dengan keimanan yang suci sungguh pun itu hanya satu tanda. Sebab Tuhan sesungguhnya mencintai orang-orang yang mau membaca.
Ia yang piawai dalam membaca tidak akan tertipu tipuan-tipuan dunia. Sementara ia yang gagal dalam memabaca akan terjerumus dalam penderitaan-penderitaan dan kepayahan-kepayahan yang sia-sia. Dan dalam hal ini seorang sufi berkata, di dunia ini tidak ada tanda atau rambu-rambu yang keliru, sebaliknya yang ada hanyalah para pembaca yang mudah tertipu sebab ia bodoh dan lalai dalam membaca.
Membaca yang pertama yang dilakukan rasul bukanlah membaca sesuatu diri sendiri. Dari itulah setelah rasul membaca diri sendiri baru kemudian ia mengucapkan sahadat. Bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad adalah Rasulullah. “Ana rasulullah”. Aku adalah utusan Tuhan, utusanAllah, begitu kata rasul. Ucapan itu bukanlah ucapan sederhana yang remeh, sebaliknya kalimat agung yang sangat menggetarkan dada siapapun, yang itu lahir dari pekerjaan agung bernama membaca.
Membaca melibatkan banyak hal mulai dari penglihatan, pendengaran, hati juga pikiran. Dalam pada ini pulalah tingkatan diri dalam membaca terjadi. Mulai dari tingkatan membaca yang begitu umum, khusus dan terdapat pula yang membaca dalam tingkatan khawasul khawas. Tingkat yang pertama selalu membaca sesuatu dengan harfiah dan umum. Maka jika hidup itu ibarat buku, membaca mereka hanya sampai pada judul bukunya saja, dan tidak tahu isi dari buku tersebut. Kemudian terdapat pula pembaca yang hanya telah membaca hingga stadium kalimat. Di mana ia memahami berbagai hal dari kalimat-kalimat. Lebih jauh lagi saat cahaya-cahaya pengetahuan diperhalus ke dalam ruang huruf mereka tidak sudah tidak sanggup memahami. Dan hanya mereka yang makrifat akan dirinya sendirilah yang sanggup membaca cahaya yang terikat dalam satu-satuan huruf yang seakan menurut orang tidak terbaca.
Mereka itulah orang-orang yang memahami apa itu membaca. Dengan membaca mereka mengetahui aneka macam rahasia mulai dari rahasia kesucian, rahasia istiqomah, rahasia kebahagian bahkan diajarkan pula kimia kepedihan. Maka begitu seorang sufi berujar pada para murid-muridnya:“Siapakah kekasih Allah itu? begitu ucapnya. “Kekasih Allah adalah mereka para diri yang halus dalam membaca. Merekalah yang tiap saat hati dan akalnya selalu membaca, sehingga mereka mengetahui tidak ada satu wujud keindahan dan keagungan selain hanya wujud dan keindahan Tuhan semata. Sebab mereka membaca dengan hati suci dan rendah hati, ingatan-ingatan (dzikir-dzikir) mereka pun selalu suci dan hanya terpaut pada Dia yang Mahasuci. Oleh sebab itulah, “pendengaranKu” begitu kata Allah, “akan menjadi pendengaran mereka, penglihatanKu menjadi penglihatan mereka, perbuatanKu pun menjadi perbuatan mereka. Dalam pada merekalah iradatKu berada. Maka jika kau kekasihku, begitu kata Tuhan,niscaya kun iradatKu ada dalam kehendakmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar