Demokrasi sebenarnya adalah bentuk pemerintahan yang paling rumit
dibandingkan dengan bentuk pemerintahan yang lain. Banyak pertentangan dan
ketegangan dan mensyaratkan ketekunan para penyelenggaranya agar bisa berhasil.
Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tetapi demi pertanggungjawaban.
Sebuah pemerintahan yang demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat
pemerintahan diktator,
namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya
dukungan publik untuk hal itu. Setiap bentuk demokrasi adalah sistem yang
bertumbuh dan berkembang, oleh sebab itu setiap bangsa harus menata
pemerintahannya yang berpijak pada sejarah dan kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Meskipun diakui adanya prinsip-prinsip umum atau dasar yang harus
ada dalam setiap demokrasi, misalnya tata cara pembuatan Undang-Undang bisa
sangat bervariasi pelaksanaannya, namun apapun bentuknya pembuatan ini harus
mematuhi prinsip dasar keterlibatan rakyat dalam prosesnya sehingga mereka
merasa memiliki aturan tersebut.
Negara ini telah menetapkan diri untuk menggunakan sistem demokrasi
dalam menjalankan kehidupan politik bernegaranya. Sistem demokrasi yang dianut
diaplikasikan melalui prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh khitmat
kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan. Sistem demokrasi ini yang
kemudian memberikan konsekuensi kepada partai politik untuk berperan menjadi
pilar demokrasi dalam bernegara di Indonesia.
Sistem
yang dilakukan dalam pemiliu telah mengarah kepada politik mobilisasi daripada
demokratisasi itu sendiri. Mobilisasi secara sederhana selalu dilawankan dengan
Partisipasi. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan
kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian
keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena
kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Mobilisasi
didefinisikan sebagai pengembangan sebuah hubungan sosial (merujuk pada istilah
yang digunakan Weber) antara dua aktor, individu dan Partai. Konsep aktivitas
Mobilisasi terdiri dari 3 proses: proses kepentingan (dimensi kognitif), proses
pembentukan komunitas (dimensi affectif), dan proses pemanfaatan instrument
(dimensi instrumental). Mobilisasi politik didefinisikan sebagai usaha aktor
untuk mempengaruhi distribusi kekuasaan. Suatu variabel direksional
diperkenalkan dalam rangka menggambarkan dengan tepat jenis hubungan yang
berkembang antara Partai dan Individu. Ada 2 model dalam mobilisasi (Birgitta
Nedelmann, 1997) Pertama, mobilisasi vertikal, yakni mobilisasi yang bekerja
dalam hubungan vertikal. Mobilisasi vertikal meliputi Downward mobilization
model, grass-root or populist mobilization model, dan ideal democratic
model.
Kedua, mobilisasi horizontal, yakni menyertakan segala kemungkinan
dari proses-proses internal dalam mobilisasi yang berlangsung diantara Partai
dan Individu. Model-model ini membantu untuk menganalisis keadaan politik saat
ini sebagaimana ditandai oleh kesinambungan proses mobilisasi horisontal dan
vertikal. Hal ini menyisakan sebuah tugas riset mobilisasi untuk menyelidiki
pernyataan yang dibuat di sini bahwa hubungan hirarkis yang dilembagakan antara
Partai dan individu sedang melemah sebagai sebuah hasil dari terus meningkatnya
orientasi aktor ke dalam diri mereka ketika sadar akan artikulasi kepentingan,
pengembangan loyalitas, dan pemanfaatan instrumen-instrumen mobilisasi.
Manifestasi
lain dari politik mobilisasi adalah orientasi partai-partai politik yang lebih
terfokus kepada pemilihan pejabat-pejabat dan perebutan kekuasaan atas
jabatan-jabatan tertentu daripada memperkuat basis ideologi anggota partai
politik. Akibatnya, koalisi-koalisi antar partai dilakukan bukan karena
partai-partai yang berkoalisi memiliki kesamaan ideologi untuk membangun negara
tetapi lebih kepada peningkatan jumlah anggota partai untuk bisa menduduki
jabatan-jabatan tertentu. Karena itu jargon seperti ”dalam politik tidak ada
yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri” menjadi dogma yang diyakini dan
memang terjadi. Koalisi-koalisi tersebut sangat semu dan dangkal yang dengan
mudah berubah sesuai dengan ”lowongan” jabatan yang ada.
Politikus-politikus
yang terlibat juga semakin profesional dan berubah seolah-olah menjadi
politikus adalah jabatan karier dan mata pencaharian, dan bukan merupakan
pejuang-pejuang prinsip atau ideologi tertentu. Akibatnya, politikus bisa
dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain, meski sebenarnya kedua
partai tersebut memiliki ideologi yang berbeda atau bahkan berseberangan.
Terkait dengan hal ini, kemampuan pengorganisasian partai menjadi salah satu
aspek yang penting dalam perilaku Partai.
Proses politik dalam gaya politik
mobilisasi semakin menjauhkan masyarakat ke dalam tujuan politik yang
sebenarnya, yaitu demi pengaturan kehidupan bersama. Lingkaran politik menjadi
lingkaran profesi yang menghidupi para politikus dalam arti yang
sebenar-benarnya. Mereka hidup dari proses politik mobilisasi tanpa memiliki
sumber-sumber keuangan lain di luar jabatan-jabatan politik yang disandang itu.
Akibat yang kemudian bisa diamati karena gaya politik mobilisasi adalah sikap
apatis masyarakat terhadap proses pemilihan umum dan tindakan-tindakan yang
terkait dengan mobilisasi massa tersebut. Tingginya angka golput menjadi
parameter yang gampang diikuti. Bagi kehidupan berbangsa, karena rasa percaya
diri yang berlebihan pada para pemimpin, karena merasa didukung oleh seluruh
mayoritas, maka proses pengambilan keputusan bagi kebijakan sehari-hari justru
semakin dijauhkan dari masyarakat konstituen. Sehingga mekanisme yang terjadi
di partai menjadi tertutup dari kehidupan politis warga. Akhirnya ketika
diminta untuk memilih pun sebenarnya warga tidak memiliki pengetahuan yang
cukup kecuali dari pencitraan yang dimunculkan oleh media massa. Pencitraan ini
hanya membuat warga memilih kucing dalam karung, karena sebenarnya tidak
mengetahui apa yang dipilihnya.
Mobilisasi dikategorikan
dalam 2 bentuk, yakni mobilisasi langsung dan mobilisasi tidak langsung.
Mobilisasi langsung merupakan kegiatan mabilisasi dalam bentuk pengerahan
terhadap pemilih agar melakukan tindakan politik sebagaimana yang dikehendaki
partai politik. Mobilisasi tidak langsung merupakan kegiatan mobilisasi dalam
bentuk pemengaruhan cara pikir atau cara pandang pemilih, sehingga pemilih akan
mengekspresikan pemahamannya dalam bentuk keputusan politik pemilih. Pembedaan
kategori antara mobilisasi langsung dan tidak langsung berdasar pada
mekanisme-mekanisme mobilisasi yang dilakukan oleh partai politik. Mobilisasi
langsung dapat dilakukan dengan memberikan instruksi-instruksi melalui
mekanisme partai politik kepada para pemilih. Sedangkan mobilisasi tidak langsung
dapat dilakukan dengan kampanye-kampanye langsung maupun melalui media-media.
Mobilisasi langsung, semisal adalah menggerakkan simpatisan partai untuk
melakukan konvoi jalanan, untuk melakukan aksi-aksi politik, dan lain
sebagainya. Mobilisasi tidak langsung , semisal adalah iklan-iklan politik di
media masa, seminar-seminar partai, kampanye dialogis, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar