Oleh: Nanda Irwansyah
A. Pendahuluan
Berbagai upaya yang
ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia
merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan banyak perhatian dari
seluruh elemen bangsa. Dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara 1999-2004 ditetapkan, bahwa salah satu misi dari
pembangunan nasional adalah menempatkan HAM dan supremasi hukum sebagai suatu
bidang pembangunan yang mendapatkan perhatian khusus. Untuk maksud itu
diperlukan perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi
hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Menurut pasal 8 UU
nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga
masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan
dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti konvensi hak anak, konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan lain-lain, tetapi
belum didukung dengan komitmen bersama yang kuat untuk menerapkan
instrumen-instrumen tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut, maka perlu
dikembangkan suatu
mekanisme pelaksanaan hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak warga masyarakat, terutama hak-hak kelompok rentan.
mekanisme pelaksanaan hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak warga masyarakat, terutama hak-hak kelompok rentan.
Pengertian kelompok
rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan,
seperti tercantum dalam pasal 5 ayat (3) undang-undang no. 39 tahun 1999 yang
menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain adalah, orang
lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Kenyataan menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang kelompok rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian
undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak
memberikan manfaat kepada masyarakat. Disamping itu terdapat peraturan
perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang
berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Selama ini
kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada pemenuhan dan
perlindungan hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Kemudian hak-hak yang terdapat di dalam komunitas masyarakat rentan belum
mendapatkan prioritas dari kebijakan tersebut. sedangkan permasalahan yang
mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum terwujudnya
penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak anak, kelompok perempuan
rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas dalam perspektif HAM.
B. Kerangka Konsep Teoritik
Untuk menjawab latar
belakang masalah tersebut, penulis menggunakan kerangka konsep teori kebijakan
publik menurut William Dunn.
C. Kondisi Objektif
Kebijakan Publik
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua
prinsip keadilan yaitu, pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik bagi setiap orang, bagi
mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun kurang beruntung.
Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah
sering pula disebut sebagai pelayan masyarakat (public servant). Namun
kenyataannya, belum semua aparat pemerintah menyadari arti pentingnya
pelayanan. Muncul ungkapan kalau dapat dipersulit, mengapa dipermudah, yang
beredar di kalangan aparat pemerintah menunjukkan bahwa mereka umumnya belum sadar mengenai posisinya
sebagai pelayan masyarakat dan juga filosofi pelayanan itu sendiri. Tjosvold
mengatakan bahwa melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun kehormatan,
merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.
Mahfud MD (2010: 61) politik hukum pascaamandemen UUD 1945 juga mengenal
program legislasi nasional (Prolegnas) dan program legislasi daerah (Prolegda)
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004. Prolegnas dapat disebut sebagai
penjabaran politik hukum untuk mencapai tujuan Negara dalam periode tertentu.
Di dalam prolegnas dimuat semua rencana UU yang akan dibuat dalam lima tahun
yang dapat dipenggal-penggal lagi berdasarkan prioritas tahunan. Prolegnas
dibuat berdasarkan kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang produknya
dituangkan ke dalam keputusan DPR.
Dengan demikian prolegnas adalah potret isi atau substansi politik hukum
nasional untuk pencapaian tujuan Negara dalam kurun waktu lima tertentu, baik
dalam membuat hukum baru maupun mencabut atau mengganti hukum lama. Namun,
harus diingat pula bahwa prolegnas bukan berisi rencana hukum yang akan dibuat
atau diganti, melainkan sekaligus juga merupakan pedoman atau mekanisme
pembuatan UU yang mengikat. Artinya, prosedur dan mekanisme pembuatan hukum
haruslah melalui prolegnas, yakni pertama-tama harus disepakati daftar RUU lima
tahunan oleh DPR dan pemerintah untuk kemudian dibuat prioritas tahunan yang
juga disepakati oleh DPR dan pemerintah.
A. Ubaedillah dkk
(2000: 79) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah lembaga Negara dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan
memegang kekuasaan membentuk undang-undang, DPR memiliki fungsi legislasi,
anggaran dan pengawasan. Salah satu tugas dan wewenang DPR ialah membentuk
Undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama,
membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang.
Dalam menjalankan fungsinya, anggota DPR memiliki hak interpelasi (yakni
hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang
berdampak kepada kehidupan bermasyarakat dan bernegara), hak angket (hal
melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan) dan hak menyatakan pendapat. Di luar
institusi anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas serta hak
protokoler.
D. Perlindungan Terhadap
Kelompok Rentan
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari
kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya
perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan
pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada beberapa kendala
yang antaralain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum
terlaksananya sosialisasi dengan baik dan kemiskinan yang masih dialami
masyarakat.
1. Anak
Berbagai
pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari
masih adanya anak-anak yang mengalami kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Hal yang menarik perhatian untuk dibahas adalah pelanggaran hak asasi yang
menyangkut masalah pekerja anak, perdagangan anak untuk tujuan pekerja seks
komersial dan anak jalanan.
Bangsa
Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak
karena amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Disisi lain, perlindungan
terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam pasal 15 yang
mengatur hak-hak anak sesuai pasal 52-pasal 66 UU. No. 39 tahun 1999 tentang
HAM.
Dalam
hubungan ini, pemerintah melalui Keppres No. 88 tahun 2000 telah menetapkan
rencana aksi nasional penghapusan trafficking perempuan dan anak serta
menetapkan gugusan tugas untuk memerangi dan menghapus kejahatan trafficking.
Bidang garapan yang diimplementasikan mencakup perlindungan dengan mewujudkan norma hukum terhadap pelaku
trafficking, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban trafficking
serta kerja sama dan koordinasi dalam penanggulangan trafficking.
Produk
hukum yang paling menonjol dalam upaya perlindungan terhadap anak yang belum
tersosialisasi dengan baik adalah adanya lima UU yang mengatur tentang anak,
yaitu: pertama UU No.4 tahun 1979 tentang kesehjateraan anak. Kedua UU
No.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Ketiga UU No.20 tahun 1999
tentang pengesahan konvensi ILO no. 138 mengenai usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja. Keempat UU No.1 tahun 2000 tentang pengesahan
konvensi ILO no.182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak. Kelima UU No.23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Disamping undang-undang tersebut terdapat Keputusan Presiden
no. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi konvensi hak anak tahun 1986.
Dari kelima
UU tersebut secara umum dapat dikatakan, bahwa secara kuantitatif sudah cukup
banyak peraturan perundangan yang memberikan perlindungan terhadap anak yang
sejalan dengan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Secara kuantitatif keberadaan
undang-undang yang memberikan perlindungan kepada anak sudah cukup banyak,
tetapi dalam implementasinya peraturan perundang-undangan tersebut belum
sepenuhnya dapat dilakukan. Hal ini disebabkan antara lain: pertama pembentukan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang didasarkan pada UU No.23/2002
tentang perlindungan anak masih belum terwujud. Kedua upaya penegakan
hukum masih mengalami kesulitan. Ketiga harmonisasi berbagai UU yang
memberikan perlindungan kepada anak dihadapkan pada berbagai hambatan. Keempat
sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum sepenuhnya
dapat dilakukan dengan baik.
2. Kelompok Minoritas
Definisi
mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara
universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu Negara, kelompok minoritas
adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku,
agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas
sebagai kelompok yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan
jumlah penduduk lainnya dari Negara bersangkutan dalam posisi yang tidak
dominant. Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama maupun bahasa yang
berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit
sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan
bahasa.
Sehubungan
dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul
kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan
masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat
mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang
dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi
terhadap hak-hak kelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan
dengan jabatan dan pekerjaan.
Dalam
hubungan ini telah banyak diberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan
sebagai instrumen hukum dan HAM nasiona disamping instrumen HAM internasional,
seperti: a. Konvenan Internasional penghapusan segala bentuk diskriminasi ras
1965 pasal 1. b. deklarasi UNESCO tentang ras dan prasangka ras 1978 pasal 1, 2
dan 3. c. deklarasi berdasarkan agama dan kepercayaan 1981 pasal 2.
Sedangkan
penjelasan ketentuan umum Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999,
diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa
yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau pengahapusan pengakuan,
pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Secara normatif bentuk perlindungan hukum telah diatur melalui instrumen
internasional maupun nasional yang berkaitan dengan HAM terhadap kelompok
minoritas. Namun dalam implementasinya masih dinilai perlu untuk menjadi
perhatian bersama. Hal ini mencakup pola interaksi antara kelompok minoritas
dengan kelompok lainnya untuk dilakukan dengan baik berlandaskan azas
keterbukaan dan toleransi terhadap tata nilai semua kelompok yang ada di
masyarakat.
E. Penutup
Melihat berbagai perangkat peraturan perundang-undangan diatas
sebenarnya sudah cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan
perlindungan HAM terhadap anak dan kelompok minoritas belum sepenuhnya
tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan antara lain penegakan hukum dan
implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping
penyebarluasan informasi (sosialisasi) terhadap perangkat perundangan tersebut
belum dilakukan keseluruh lapisan masyarakat.
Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena peraturan
perundang-undagan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan
perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian
yang seksama sebelum disusun suatu rancangan perundang-undangan. Agar suatu peraturan
perundang-undangan lahir dari proses penelitian aspirasi, kondisi dan kebutuhan
yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Dalam ini menurut hemat penulis belum
dilakukan secara penuh oleh pemerintah (DPR) dalam mengevaluasi atau membuat
undang-undang terutama perlindungan terhadap kelompok rentan
Tenane kuwi??
BalasHapus