Senin, 15 Mei 2017

Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Anak, Wanita, Penyandang Cacat, Kelompok Minoritas) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia


Oleh: Nanda Irwansyah



A.    Pendahuluan
Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan banyak perhatian dari seluruh elemen bangsa.  Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 ditetapkan, bahwa salah satu misi dari pembangunan nasional adalah menempatkan HAM dan supremasi hukum sebagai suatu bidang pembangunan yang mendapatkan perhatian khusus. Untuk maksud itu diperlukan perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Menurut pasal 8 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan lain-lain, tetapi belum didukung dengan komitmen bersama yang kuat untuk menerapkan instrumen-instrumen tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut, maka perlu dikembangkan suatu
mekanisme pelaksanaan hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak warga masyarakat, terutama hak-hak kelompok rentan.
Pengertian kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam pasal 5 ayat (3) undang-undang no. 39 tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain adalah, orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kelompok rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberikan manfaat kepada masyarakat. Disamping itu terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Selama ini kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kemudian hak-hak yang terdapat di dalam komunitas masyarakat rentan belum mendapatkan prioritas dari kebijakan tersebut. sedangkan permasalahan yang mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum terwujudnya penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas dalam perspektif HAM.
B.     Kerangka Konsep Teoritik
Untuk menjawab latar belakang masalah tersebut, penulis menggunakan kerangka konsep teori kebijakan publik menurut William Dunn.

C.    Kondisi Objektif Kebijakan Publik
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu, pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik bagi setiap orang, bagi mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun kurang beruntung.
Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering pula disebut sebagai pelayan masyarakat (public servant). Namun kenyataannya, belum semua aparat pemerintah menyadari arti pentingnya pelayanan. Muncul ungkapan kalau dapat dipersulit, mengapa dipermudah, yang beredar di kalangan aparat pemerintah menunjukkan bahwa  mereka umumnya belum sadar mengenai posisinya sebagai pelayan masyarakat dan juga filosofi pelayanan itu sendiri. Tjosvold mengatakan bahwa melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun kehormatan, merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.
Mahfud MD (2010: 61) politik hukum pascaamandemen UUD 1945 juga mengenal program legislasi nasional (Prolegnas) dan program legislasi daerah (Prolegda) sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004. Prolegnas dapat disebut sebagai penjabaran politik hukum untuk mencapai tujuan Negara dalam periode tertentu. Di dalam prolegnas dimuat semua rencana UU yang akan dibuat dalam lima tahun yang dapat dipenggal-penggal lagi berdasarkan prioritas tahunan. Prolegnas dibuat berdasarkan kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang produknya dituangkan ke dalam keputusan DPR.
Dengan demikian prolegnas adalah potret isi atau substansi politik hukum nasional untuk pencapaian tujuan Negara dalam kurun waktu lima tertentu, baik dalam membuat hukum baru maupun mencabut atau mengganti hukum lama. Namun, harus diingat pula bahwa prolegnas bukan berisi rencana hukum yang akan dibuat atau diganti, melainkan sekaligus juga merupakan pedoman atau mekanisme pembuatan UU yang mengikat. Artinya, prosedur dan mekanisme pembuatan hukum haruslah melalui prolegnas, yakni pertama-tama harus disepakati daftar RUU lima tahunan oleh DPR dan pemerintah untuk kemudian dibuat prioritas tahunan yang juga disepakati oleh DPR dan pemerintah.
A. Ubaedillah dkk (2000: 79) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah lembaga Negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk undang-undang, DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Salah satu tugas dan wewenang DPR ialah membentuk Undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama, membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Dalam menjalankan fungsinya, anggota DPR memiliki hak interpelasi (yakni hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat dan bernegara), hak angket (hal melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan) dan hak menyatakan pendapat. Di luar institusi anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas serta hak protokoler.
D.    Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antaralain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.
1.      Anak
Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Hal yang menarik perhatian untuk dibahas adalah pelanggaran hak asasi yang menyangkut masalah pekerja anak, perdagangan anak untuk tujuan pekerja seks komersial dan anak jalanan.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Disisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam pasal 15 yang mengatur hak-hak anak sesuai pasal 52-pasal 66 UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Dalam hubungan ini, pemerintah melalui Keppres No. 88 tahun 2000 telah menetapkan rencana aksi nasional penghapusan trafficking perempuan dan anak serta menetapkan gugusan tugas untuk memerangi dan menghapus kejahatan trafficking. Bidang garapan yang diimplementasikan mencakup perlindungan    dengan mewujudkan norma hukum terhadap pelaku trafficking, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban trafficking serta kerja sama dan koordinasi dalam penanggulangan trafficking.
Produk hukum yang paling menonjol dalam upaya perlindungan terhadap anak yang belum tersosialisasi dengan baik adalah adanya lima UU yang mengatur tentang anak, yaitu: pertama UU No.4 tahun 1979 tentang kesehjateraan anak. Kedua UU No.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Ketiga UU No.20 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi ILO no. 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Keempat UU No.1 tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO no.182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kelima UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Disamping undang-undang tersebut terdapat Keputusan Presiden no. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi konvensi hak anak tahun 1986.
Dari kelima UU tersebut secara umum dapat dikatakan, bahwa secara kuantitatif sudah cukup banyak peraturan perundangan yang memberikan perlindungan terhadap anak yang sejalan dengan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Secara kuantitatif keberadaan undang-undang yang memberikan perlindungan kepada anak sudah cukup banyak, tetapi dalam implementasinya peraturan perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan. Hal ini disebabkan antara lain: pertama pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang didasarkan pada UU No.23/2002 tentang perlindungan anak masih belum terwujud. Kedua upaya penegakan hukum masih mengalami kesulitan. Ketiga harmonisasi berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak dihadapkan pada berbagai hambatan. Keempat sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik.
2.      Kelompok Minoritas
Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu Negara, kelompok minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku, agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai kelompok yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari Negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominant. Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama maupun bahasa yang berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa.
Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap hak-hak kelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan.
Dalam hubungan ini telah banyak diberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai instrumen hukum dan HAM nasiona disamping instrumen HAM internasional, seperti: a. Konvenan Internasional penghapusan segala bentuk diskriminasi ras 1965 pasal 1. b. deklarasi UNESCO tentang ras dan prasangka ras 1978 pasal 1, 2 dan 3. c. deklarasi berdasarkan agama dan kepercayaan 1981 pasal 2.
Sedangkan penjelasan ketentuan umum Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau pengahapusan pengakuan, pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Secara normatif bentuk perlindungan hukum telah diatur melalui instrumen internasional maupun nasional yang berkaitan dengan HAM terhadap kelompok minoritas. Namun dalam implementasinya masih dinilai perlu untuk menjadi perhatian bersama. Hal ini mencakup pola interaksi antara kelompok minoritas dengan kelompok lainnya untuk dilakukan dengan baik berlandaskan azas keterbukaan dan toleransi terhadap tata nilai semua kelompok yang ada di masyarakat. 
E.     Penutup
Melihat berbagai perangkat peraturan perundang-undangan diatas sebenarnya sudah cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap anak dan kelompok minoritas belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan antara lain penegakan hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping penyebarluasan informasi (sosialisasi) terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan keseluruh lapisan masyarakat.
Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena peraturan perundang-undagan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusun suatu rancangan perundang-undangan. Agar suatu peraturan perundang-undangan lahir dari proses penelitian aspirasi, kondisi dan kebutuhan yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Dalam ini menurut hemat penulis belum dilakukan secara penuh oleh pemerintah (DPR) dalam mengevaluasi atau membuat undang-undang terutama perlindungan terhadap kelompok rentan

1 komentar: