oleh: Nanda Irwansyah
Gadis kecil itu bernama Umai. Pada usia Sembilan tahun orang
tuanya mengajak pindah dari tanah kelahirannya ke sebuah pulau yang konon
merupakan pusat kemajuan di negaranya. Mereka tidak memilih tinggal di ibu
kota, tetapi disebuah kota yang terkenal sebagai kota budaya, kota kuno yang
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keluarga dan tata nilai sosial. Sebuah kota
yang menghargai pendidikan di atas segalanya. Sebuah kota yang betul-betul
sempurna untuk membesarkan anak-anak yang diharapkan pandai dan berbudi luhur.
Maka, sementara orang tuanya bekerja, Umai pun bersekolah di salah satu
sekolah dasar di sana.
Umai cerdas, supel, gendut dan seperti anak seusianya, ia menyimpan rasa ingin
tahu yang tinggi. Ia punya banyak fantasi tentang
kehidupannya dan tak beda
dengan anak-anak seusianya, ia menyimpan sisi kenaifan dan kepolosan tentang
dunia dan manusia di sekitarnya-sesuatu yang umumnya telah tererosi dalam
kehidupan manusia dewasa. Namun, justru di kota yang tampaknya ideal iniliah
dunia kanak-kanak Umai yang mudah dihancurkan oleh sejumlah peristiwa.
Peristiwa-peristiwa itu antara lain berlangsung di dalam kelas. Dalam sebuah
mata pelajaran, Umai berbeda pendapat dengan gurunya. Umai bersikukuh
mempertahankan pendapatnya karena ia merasa benar-seperti itulah didikan
keluarganya. Bapak guru yang merasa tidak senang, merasa otoritas dan
kredibilitasnya tertanggu ia menyatakan ketidaksenangan dalam wujud hinaan “Ah
dasar kamu anak pulau seberang! Kalian memang primitif dan tidak beradab! Tahu
apa tentang ini!” Umai terperangah. Apa yang terjadi? Mengapa bapak guru
berbicara seperti ini? Ia hanya menyatakan perbedaan pendapat tapi mengapa
bapak guru menuduhya dengan kata-kata yang begitu susah di cerna dan pastinya
melihat roman muka pak guru dan teman-temannya yang menertawakannya, kalimat
itu pastilah sesuatu yang buruk baginya.
Umai kini mengenang saat-saat itu dengan pahit “saya berusaha mengaitkan
kejadian itu dengan beberapa peristiwa lain” katanya. Kali lain, ada ibu guru
yang terus-terusan mengomentari rambutnya. “kalian orang seberang, rambutnya aneh
ya? Kok bisa keriting begitu sih? Lucu ya?” besoknya kulit yang menjadi sasaran
“ih item banget!” lusanya gaya bicara dan begitulah seterusnya. Semua
dikomentari secara negatif. “ tadinya saya pikir ibu guru cuma bercanda atau
mungkin ia malah tengah mengagumi saya. Tapi kemudian saya tahu, ia bicara
begitu karena baginya saya memang benar-benar aneh dan benar-benar berbeda.
Setelah peristiwa itu teman-teman Umai mulai memandang dan memperhatikannya
secara berbeda. Oh tentu masih diajak bermain, ia menjadi bagian dari aktor dan
permainan dengan segala dinamikanya. Tapi sedikit saja ia melanggar rule
of the game hal yang
wajar-wajar saja sebenarnya dan dialami oleh siapapun, langsung teman-teman
mengolok-oloknya dengan stereotip yang sama dengan yang diajarkan oleh
guru-guru mereka di kelas. Sampai suatu ketika , Umai tidak tahan lagi. Ketika
gurunya lagi-lagi menyinggung stereotip ini-bahwa Umai adalah bagian dari
komunitas orang pulau seberang yang berkulit gelap, berambut keriting, berhidung
pesek, jelek, bodoh, primitif dan tak berbudaya. Umai marah dan angkat protes
“bukan mau saya dilahirkan seperti ini. Tapi memangnya kenapa kalau saya
seperti ini?”. Guru kaget ada murid bertingkah seberani itu di kelas pada
dirinya, sekolah menjadi geger dan kepala sekolah pun turun tangan. Mereka
berdua didamaikan. didamaikan artinya “saya harus minta maaf pada bapak dan ibu
guru itu” tutur Umai. Umai tidak mengerti saat itu, kenapa ia yang justru harus
minta maaf. Yang ia tahu, ia dianggap bersalah hanya karena ia dianggap
berbeda.
Dua puluh tahun lebih setelah peristiwa itu berlalu, Umai masih tinggal di
republik ini yang sebagian besar masyarakatnya sampai sekarang tetap menganggap
ia dan orang sesukunya begitu berbeda. Umai kini adalah seorang aktivis
lingkungan bergelar master, tergabung dalam gerakan advokasi dalam sebuah
organisasi konservasi internasional. Dikenal cerdas, kritis dan berpendidikan
tinggi. Ia di hormati oleh para kolega karena integritasnya yang tinggi dan
komitmennya yang besar dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia terkait
dengan isu-isu lingkungan hidup di tanah kelahirannya, Papua.
Ya, Umai adalah warga Papua. Sebagaimana warga Papua lain, ia membawa ciri-ciri
fisik ras Melanisia: berkulit gelap, berambut keriting, wajah bulat, perawakan
nan gempal. Tapi sungguh, kecuali itu tak ada yang menjadikannya berbeda
disbanding orang-orang Jawa, Sumatera atau warga Indonesia lainnya. Umai
bermata bulat, hitam, besar, memancarkan kecerdasan dan kejernihan hati.
Senyumnya lebar, manis, hangat dan menyejukkan sama dengan senyum siapapun yang
tersenyum berdasarkan ketulusan hati. Gerak-geriknya halus, lembut, indah.
Suaranya lembut dengan intonasi mengesankan. Umai biasa bicara dengan tempot
lambat tapi tegas dan teratur. Kata-kata yang keluar dari dirinya merefleksikan
kecerdasan dan kebijaksanaan, sesuatu yang tak dimiliki agaknya oleh
guru-gurunya terdahulu.
Apa yang dialami Umai adalah pengalaman khas yang dialami oleh rekan-rekan kita
dari Indonesia Timur ketika datang ke pulau Jawa. “kami di Papua biasa bergaul
dengan siapa saja. Orang Jawa, Cina dan Barat. Mereka kami perlakukan sama
dengan warga suku kami, kami baru menyadari bahwa kami itu berbeda ketika kami
datang ke pulau Jawa dan dianggap berbeda disana”, tutur seorang rekan lain
juga dari Papua. Ia menuturkan pengalaman yang sama dengan Umai. Dianggap aneh
karena berkulit hitam, berambut keriting, berawajah Melanesia. Pembedaan ini
terasa lebih nyata di ruang publik, saat berjalan-jalan di gang masih ada orang
yang menyingkir, berbisik-bisik atau terpada memandanginya. Saat ke mall masih
ada saja yang tidak welcome dengan kehadirannya. Padahal ia punya hak yang
sama dengan pengunjung mall dan calon customerlainnya.
Inilah rasisme, suatu praktik memperlakukan orang lain secara berbeda dengan
memberikan penilaian yang diukur berdasarkan karakteristik ras, sosial, atau
konsep mental tertentu mengenai self. Rasisme menjadi masalah karena konsep ini
tidak sekedar mejadi kategori pembeda namun lebih dari itu, ditujukan untuk
menegaskan superioritas satu pihak diantara pihak-pihak lainnya. Paul Spoonley
dalam Ethnicity and Racism (1990) mencoba menelusuri jejak-jejak rasisme yang disimpulkan
berasal dari konsep tentang ras. Konsep ras ini, sedari awal diakuinya memang
bersifat problematic. “race adalah suatu konsep kolonialisme yang muncul ketika semangat
berekspansi melanda Eropa” tutur Spoonley. Ras juga sebuah konsep “…yang
mencerminkan kemalasan orang Eropa untuk berpikir ketika menghadapi keragaman
manusia dalam perjalanan ekspansi mereka”. Biar gampang, sudahlah kita
kategorikan saja orang-orang berdasarkan karakteristik fisiknya, begitulah
pemikiran para pelaut dunia itu yang merasa punya jasa membawa peradaban dan
pencerahan manusia.
Maka diperkenalkanlah konsep ras dalam ranah interaksi sosiologis dunia. Ada
orang India, Afrika, Cina, Melayu dan Aborigin lengkap dengan stereotip mereka
masing-masing. Orang India yang licik dan trickly, Afrika yang kuat tapi bebal, Cina yang
ceriwis dan mata duitan, Melayu yang malas dan lamban, Aborigin yang tolol dan
jorok. Bersamaan dengan meluasnya stereotip ini, menyebar pula stereotip Eropa
sebagai ras superior, civilzed dank arena itu punya hak menentukan
nasib bangsa lain yang dianggap sebagai ras inferior. Sebagai bagian dari
ideologi kolonial, rasisme menjustifikasi eksploitasi kolonial secara
ideologis. Namun pada intinya, di dalam semua itu ada dua hal: penindasan dan
kesombongan.
Rasisme adalah sikap dan konsep yang beroperasi dalam keseharian kita. Ia
muncul tatkala adik kecil kita datang menangis tersedu-sedu karena kalah
berkelahi dan dengan kesal kita bilang “banci, lu!” atau tatkala kalah tawar
menawar dengan pedagang di pasar @dasar tauke pelit” atau tatkala sebal
menunggu teman yang sudah janjian jauh-jauh hari, di ingatkan berulang kali
tapi tetap saj terlambat “duh, telat banget dasar cewek” seperti inilah
bentuk-bentuk rasisme yang mewarnai ruang keseharian kita.
Begitulah, rasisme memang konsep yang cair dan mengambil bentuk yang
berbeda-beda sepanjang waktu. Mulanya mewujud dalam bentuk prasangka antar
etnis, prasangka antar gender yang kemudian lama-lama berkembang menjadi social
prejudice. Hal ini perburuk
pula oleh pola asuh yang kita dapatkan. Tanpa dasar kita yang dibesarkan dalam
lingkungan asuhan bersifat askriptif primordial dimana nilai-nilai
disosialisasikan berdasarkan perbedaan self and the otheryang begitu tajam, kerap mengoprasionalkannya
dalam kehidupan sehari-haro. Namun, mengapa hal ini terjadi berlarut-larut bahkan
setelah kita memasuki lingkungan sosial yang berbeda-beda? “racism
is an ideology based on a degree of incorrect information combined with hostile
attitudes toward a particular group” ungkap Spoonley. Maka bahaya rasisme berawal bukan dari
mana-mana, melainkan dari incorret information tentang pribadi-pribadi di sekitar kita.
Sederhananya adalah karena kita malas mengenal orang di luar kita sendiri,
karena kita enggan keluar dari zona kenyamanan yang sudah diciptakan oleh
lingkaran pengetahuan yang kita miliki. Karena kita begitu egois, begitu
narsis, begitu bebal menganggap bahwa orang-orang dapat diklasifikasikan ke
dalam konsep mental tertentu yang mencukupi untuk menjelaskan segala sesuatu
tentang dirinya padahal dimensi kemanusiaan dalam lingkup keragaman sosial
sesungguhnya sangat kaya, unlimited.
Cerita Umai dan rangkaian kisah prasangka etnis maupun sosial lainnya, pada
akhirnya melemparkan pertanyaan sederhana pada kita: sudah sejauh mana kita
mengenal orang-orang di sekitar kita? Adilkah penilaian yang kita berikan pada
mereka? Pada saat kita mengutuk rasisme bersama-sama dengan jujur dan hati-hati
kita perlu memeriksa diri. Jangan-jangan rasisme itu ada dalam diri kita
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar