Senin, 15 Mei 2017

Kita dan Rasisme

oleh: Nanda Irwansyah

Gadis kecil itu bernama Umai. Pada usia Sembilan tahun orang tuanya mengajak pindah dari tanah kelahirannya ke sebuah pulau yang konon merupakan pusat kemajuan di negaranya. Mereka tidak memilih tinggal di ibu kota, tetapi disebuah kota yang terkenal sebagai kota budaya, kota kuno yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keluarga dan tata nilai sosial. Sebuah kota yang menghargai pendidikan di atas segalanya. Sebuah kota yang betul-betul sempurna untuk membesarkan anak-anak yang diharapkan pandai dan berbudi luhur. Maka, sementara orang tuanya bekerja, Umai pun bersekolah di salah satu sekolah dasar di sana.
            Umai cerdas, supel, gendut dan seperti anak seusianya, ia menyimpan rasa ingin tahu yang tinggi. Ia punya banyak fantasi tentang
kehidupannya dan tak beda dengan anak-anak seusianya, ia menyimpan sisi kenaifan dan kepolosan tentang dunia dan manusia di sekitarnya-sesuatu yang umumnya telah tererosi dalam kehidupan manusia dewasa. Namun, justru di kota yang tampaknya ideal iniliah dunia kanak-kanak Umai yang mudah dihancurkan oleh sejumlah peristiwa.
            Peristiwa-peristiwa itu antara lain berlangsung di dalam kelas. Dalam sebuah mata pelajaran, Umai berbeda pendapat dengan gurunya. Umai bersikukuh mempertahankan pendapatnya karena ia merasa benar-seperti itulah didikan keluarganya. Bapak guru yang merasa tidak senang, merasa otoritas dan kredibilitasnya tertanggu ia menyatakan ketidaksenangan dalam wujud hinaan “Ah dasar kamu anak pulau seberang! Kalian memang primitif dan tidak beradab! Tahu apa tentang ini!” Umai terperangah. Apa yang terjadi? Mengapa bapak guru berbicara seperti ini? Ia hanya menyatakan perbedaan pendapat tapi mengapa bapak guru menuduhya dengan kata-kata yang begitu susah di cerna dan pastinya melihat roman muka pak guru dan teman-temannya yang menertawakannya, kalimat itu pastilah sesuatu yang buruk baginya.
       Umai kini mengenang saat-saat itu dengan pahit “saya berusaha mengaitkan kejadian itu dengan beberapa peristiwa lain” katanya. Kali lain, ada ibu guru yang terus-terusan mengomentari rambutnya. “kalian orang seberang, rambutnya aneh ya? Kok bisa keriting begitu sih? Lucu ya?” besoknya kulit yang menjadi sasaran “ih item banget!” lusanya gaya bicara dan begitulah seterusnya. Semua dikomentari secara negatif. “ tadinya saya pikir ibu guru cuma bercanda atau mungkin ia malah tengah mengagumi saya. Tapi kemudian saya tahu, ia bicara begitu karena baginya saya memang benar-benar aneh dan benar-benar berbeda.
           Setelah peristiwa itu teman-teman Umai mulai memandang dan memperhatikannya secara berbeda. Oh tentu masih diajak bermain, ia menjadi bagian dari aktor dan permainan dengan segala dinamikanya. Tapi sedikit saja ia melanggar rule of the game  hal yang wajar-wajar saja sebenarnya dan dialami oleh siapapun, langsung teman-teman mengolok-oloknya dengan stereotip yang sama dengan yang diajarkan oleh guru-guru mereka di kelas. Sampai suatu ketika , Umai tidak tahan lagi. Ketika gurunya lagi-lagi menyinggung stereotip ini-bahwa Umai adalah bagian dari komunitas orang pulau seberang yang berkulit gelap, berambut keriting, berhidung pesek, jelek, bodoh, primitif dan tak berbudaya. Umai marah dan angkat protes “bukan mau saya dilahirkan seperti ini. Tapi memangnya kenapa kalau saya seperti ini?”. Guru kaget ada murid bertingkah seberani itu di kelas pada dirinya, sekolah menjadi geger dan kepala sekolah pun turun tangan. Mereka berdua didamaikan. didamaikan artinya “saya harus minta maaf pada bapak dan ibu guru itu” tutur Umai. Umai tidak mengerti saat itu, kenapa ia yang justru harus minta maaf. Yang ia tahu, ia dianggap bersalah hanya karena ia dianggap berbeda.
            Dua puluh tahun lebih setelah peristiwa itu berlalu, Umai masih tinggal di republik ini yang sebagian besar masyarakatnya sampai sekarang tetap menganggap ia dan orang sesukunya begitu berbeda. Umai kini adalah seorang aktivis lingkungan bergelar master, tergabung dalam gerakan advokasi dalam sebuah organisasi konservasi internasional. Dikenal cerdas, kritis dan berpendidikan tinggi. Ia di hormati oleh para kolega karena integritasnya yang tinggi dan komitmennya yang besar dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia terkait dengan isu-isu lingkungan hidup di tanah kelahirannya, Papua.
            Ya, Umai adalah warga Papua. Sebagaimana warga Papua lain, ia membawa ciri-ciri fisik ras Melanisia: berkulit gelap, berambut keriting, wajah bulat, perawakan nan gempal. Tapi sungguh, kecuali itu tak ada yang menjadikannya berbeda disbanding orang-orang Jawa, Sumatera atau warga Indonesia lainnya. Umai bermata bulat, hitam, besar, memancarkan kecerdasan dan kejernihan hati. Senyumnya lebar, manis, hangat dan menyejukkan sama dengan senyum siapapun yang tersenyum berdasarkan ketulusan hati. Gerak-geriknya halus, lembut, indah. Suaranya lembut dengan intonasi mengesankan. Umai biasa bicara dengan tempot lambat tapi tegas dan teratur. Kata-kata yang keluar dari dirinya merefleksikan kecerdasan dan kebijaksanaan, sesuatu yang tak dimiliki agaknya oleh guru-gurunya terdahulu.
           Apa yang dialami Umai adalah pengalaman khas yang dialami oleh rekan-rekan kita dari Indonesia Timur ketika datang ke pulau Jawa. “kami di Papua biasa bergaul dengan siapa saja. Orang Jawa, Cina dan Barat. Mereka kami perlakukan sama dengan warga suku kami, kami baru menyadari bahwa kami itu berbeda ketika kami datang ke pulau Jawa dan dianggap berbeda disana”, tutur seorang rekan lain juga dari Papua. Ia menuturkan pengalaman yang sama dengan Umai. Dianggap aneh karena berkulit hitam, berambut keriting, berawajah Melanesia. Pembedaan ini terasa lebih nyata di ruang publik, saat berjalan-jalan di gang masih ada orang yang menyingkir, berbisik-bisik atau terpada memandanginya. Saat ke mall masih ada saja yang tidak welcome dengan kehadirannya. Padahal ia punya hak yang sama dengan pengunjung mall dan calon customerlainnya.
         Inilah rasisme, suatu praktik memperlakukan orang lain secara berbeda dengan memberikan penilaian yang diukur berdasarkan karakteristik ras, sosial, atau konsep mental tertentu mengenai self. Rasisme menjadi masalah karena konsep ini tidak sekedar mejadi kategori pembeda namun lebih dari itu, ditujukan untuk menegaskan superioritas satu pihak diantara pihak-pihak lainnya. Paul Spoonley dalam Ethnicity and Racism (1990) mencoba menelusuri jejak-jejak rasisme yang disimpulkan berasal dari konsep tentang ras. Konsep ras ini, sedari awal diakuinya memang bersifat problematic. “race adalah suatu konsep kolonialisme yang muncul ketika semangat berekspansi melanda Eropa” tutur Spoonley. Ras juga sebuah konsep “…yang mencerminkan kemalasan orang Eropa untuk berpikir ketika menghadapi keragaman manusia dalam perjalanan ekspansi mereka”. Biar gampang, sudahlah kita kategorikan saja orang-orang berdasarkan karakteristik fisiknya, begitulah pemikiran para pelaut dunia itu yang merasa punya jasa membawa peradaban dan pencerahan manusia.
          Maka diperkenalkanlah konsep ras dalam ranah interaksi sosiologis dunia. Ada orang India, Afrika, Cina, Melayu dan Aborigin lengkap dengan stereotip mereka masing-masing. Orang India yang licik dan trickly, Afrika yang kuat tapi bebal, Cina yang ceriwis dan mata duitan, Melayu yang malas dan lamban, Aborigin yang tolol dan jorok. Bersamaan dengan meluasnya stereotip ini, menyebar pula stereotip Eropa sebagai ras superior, civilzed  dank arena itu punya hak menentukan nasib bangsa lain yang dianggap sebagai ras inferior. Sebagai bagian dari ideologi kolonial, rasisme menjustifikasi eksploitasi kolonial secara ideologis. Namun pada intinya, di dalam semua itu ada dua hal: penindasan dan kesombongan.
            Rasisme adalah sikap dan konsep yang beroperasi dalam keseharian kita. Ia muncul tatkala adik kecil kita datang menangis tersedu-sedu karena kalah berkelahi dan dengan kesal kita bilang “banci, lu!” atau tatkala kalah tawar menawar dengan pedagang di pasar @dasar tauke pelit” atau tatkala sebal menunggu teman yang sudah janjian jauh-jauh hari, di ingatkan berulang kali tapi tetap saj terlambat “duh, telat banget dasar cewek” seperti inilah bentuk-bentuk rasisme yang mewarnai ruang keseharian kita.
            Begitulah, rasisme memang konsep yang cair dan mengambil bentuk yang berbeda-beda sepanjang waktu. Mulanya mewujud dalam bentuk prasangka antar etnis, prasangka antar gender yang kemudian lama-lama berkembang menjadi social prejudice. Hal ini perburuk pula oleh pola asuh yang kita dapatkan. Tanpa dasar kita yang dibesarkan dalam lingkungan asuhan bersifat askriptif primordial dimana nilai-nilai disosialisasikan berdasarkan perbedaan self and the otheryang begitu tajam, kerap mengoprasionalkannya dalam kehidupan sehari-haro. Namun, mengapa hal ini terjadi berlarut-larut bahkan setelah kita memasuki lingkungan sosial yang berbeda-beda? “racism is an ideology based on a degree of incorrect information combined with hostile attitudes toward a particular group” ungkap Spoonley. Maka bahaya rasisme berawal bukan dari mana-mana, melainkan dari incorret information tentang pribadi-pribadi di sekitar kita. Sederhananya adalah karena kita malas mengenal orang di luar kita sendiri, karena kita enggan keluar dari zona kenyamanan yang sudah diciptakan oleh lingkaran pengetahuan yang kita miliki. Karena kita begitu egois, begitu narsis, begitu bebal menganggap bahwa orang-orang dapat diklasifikasikan ke dalam konsep mental tertentu yang mencukupi untuk menjelaskan segala sesuatu tentang dirinya padahal dimensi kemanusiaan dalam lingkup keragaman sosial sesungguhnya sangat kaya, unlimited.
            Cerita Umai dan rangkaian kisah prasangka etnis maupun sosial lainnya, pada akhirnya melemparkan pertanyaan sederhana pada kita: sudah sejauh mana kita mengenal orang-orang di sekitar kita? Adilkah penilaian yang kita berikan pada mereka? Pada saat kita mengutuk rasisme bersama-sama dengan jujur dan hati-hati kita perlu memeriksa diri. Jangan-jangan rasisme itu ada dalam diri kita sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar