Senin, 15 Mei 2017

Pancaroba Agama

oleh: Nanda Irwansyah
Manusia adalah makhluk yang bertanya dan selalu bertanya, apapun yang berhadapan dengannya selalu dipertanyakan. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah sampai. Tidak ada pengetahuan apapun yang bisa membuatnya tidak mau bertanya lebih lanjut. Mengapa manusia demikian? Karena manusia memang memerlukan pengetahuan. Manusia terdorong untuk selalu bertanya terus karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar lagi, bahkan manusia ingin tahu demi untuk tahu dan karena itu manusia juga bertanya tentang Tuhan.
Sejarah manusia menerangkan bahwa mencari Tuhan itu telah
berlaku berabad-abad lamanya. Manusia ingin mengetahui dari manakah datangnya dunia yang indah ini dengan segala isi penduduknya, ingin mengetahui bagaimana terciptanya dunia dan alam yang luas dan siapa penciptanya. Keinginan itu membuat manusia berfikir dan mencari diantaranya ada yang terjatuh dalam alam pengembaraannya, ada yang bertemu dengan alamat-alamat yang tidak lengkap, tetapi ada pula yang memang menemuinya dengan hidayah dan taufik Tuhan itu. Di antara Nabi-nabi yang menemui Tuhan itu, menemuinya dalam arti kiasan, karena Tuhan mengangkatnya menjadi nabi dan menurunkan wahyu kepadanya yaitu nabi Muhammad saw.
Tasawuf bukan saja barang asli bagi Islam, tetapi tasawuf telah berjaya mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya dalam beberapa kurun yang tertentu. Kurun-kurun pancaroba agama menjadi ruang khusus bagi tasawuf memperlihatkan wajahnya di gelanggang penghidupan agama. Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad saw, pada gaya hidupnya yang sederhana tetapi penuh kesungguhan dan serba mendalam. Akhlak Nabi Muhammad yang tiada dapat dipisah dan diceraikan dari kemurniaan cahaya Alquran, akhlak Nabi itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf Islam itu.
Pancaroba agama biasanya terasa jika apa yang dinamakan dunia datang keharibaan orang Islam. Masa-masa kejayaan kekuasaan, limpah ruahnya kekayaan, kesibukan pengetahuan lebih nyata menggoyangkan kesungguhan beragama dari masa-masa sebaliknya. Karena waktu itu agama bukan menghadapi tantangan dari luar, melainkan dari dalam tubuh penganut agama itu sendiri. Karenanya suara ahli-ahli sufi lebih lantang terdengar oleh ulama-ulama zahir, yang tengah sibuk mengurus harta kekayaan yang halal sebagai suara peringatan tanda akan ada bahaya dan suara itu kurang diarahkannya kepada pemabuk-pemabuk yang tengah berjudi di luar lingkungan Islam.
Pada hakikatnya tasawuf dapat diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Seseorang tidak dapat memahami tasawuf kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya daripada keindahan lahir, keindahan yang dapat diraba dengan pancaindera itu yaitu keindahan dan kelezatan yang dihasilakan bumi, makanan yang dikeluarkan bumi dan segala benda yang dihidangkan dan kemudian kembali kepadanya.
Ibarat keindahan yang dapat mengagumkan anak-anak pada waktu kecil mula pertama mengenal dunia. Tatkala roh dan jiwa mereka itu sudah matang, sudah meningkat lebih tinggi dan lebih sempurna dalam menilai, maka semua keindahan lahir itu menjadi kecil dan remeh. Mereka melepaskan alam dunia yang kasar itu maju memikirkan suatu keindahan yang sesuai dengan perkembangan kekuatan dan kebersihan roh dan jiwa mereka itu. Jadi tasawuf itu pada dzatnya pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang lain, pindah dari alam kebendaan bumi kepada alam kerohanian langit. Perpindahan atau peralihan ini selalu kelihatan pada diri manusia. Sejalan dengan perubahan umurnya, berubah pula alam pikirannya. Tentu yang demikian itu terjadi jika manusia mempergunakan akalnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar