oleh: Nanda Irwansyah
Manusia adalah makhluk yang bertanya dan
selalu bertanya, apapun yang berhadapan dengannya selalu dipertanyakan. Manusia
adalah makhluk yang tidak pernah sampai. Tidak ada pengetahuan apapun yang bisa
membuatnya tidak mau bertanya lebih lanjut. Mengapa manusia demikian? Karena
manusia memang memerlukan pengetahuan. Manusia terdorong untuk selalu bertanya
terus karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar lagi, bahkan manusia
ingin tahu demi untuk tahu dan karena itu manusia juga bertanya tentang Tuhan.
Sejarah manusia menerangkan bahwa mencari Tuhan itu telah
berlaku berabad-abad lamanya. Manusia ingin
mengetahui dari manakah datangnya dunia yang indah ini dengan segala isi
penduduknya, ingin mengetahui bagaimana terciptanya dunia dan alam yang luas
dan siapa penciptanya. Keinginan itu membuat manusia berfikir dan mencari
diantaranya ada yang terjatuh dalam alam pengembaraannya, ada yang bertemu
dengan alamat-alamat yang tidak lengkap, tetapi ada pula yang memang menemuinya
dengan hidayah dan taufik Tuhan itu. Di antara Nabi-nabi yang menemui Tuhan
itu, menemuinya dalam arti kiasan, karena Tuhan mengangkatnya menjadi nabi dan
menurunkan wahyu kepadanya yaitu nabi Muhammad saw.
Tasawuf bukan saja barang
asli bagi Islam, tetapi tasawuf telah berjaya mengembalikan umat Islam kepada
keaslian agamanya dalam beberapa kurun yang tertentu. Kurun-kurun pancaroba
agama menjadi ruang khusus bagi tasawuf memperlihatkan wajahnya di gelanggang
penghidupan agama. Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad saw, pada gaya
hidupnya yang sederhana tetapi penuh kesungguhan dan serba mendalam. Akhlak
Nabi Muhammad yang tiada dapat dipisah dan diceraikan dari kemurniaan cahaya
Alquran, akhlak Nabi itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf
Islam itu.
Pancaroba agama biasanya
terasa jika apa yang dinamakan dunia datang keharibaan orang Islam. Masa-masa
kejayaan kekuasaan, limpah ruahnya kekayaan, kesibukan pengetahuan lebih nyata
menggoyangkan kesungguhan beragama dari masa-masa sebaliknya. Karena waktu itu
agama bukan menghadapi tantangan dari luar, melainkan dari dalam tubuh penganut
agama itu sendiri. Karenanya suara ahli-ahli sufi lebih lantang terdengar oleh
ulama-ulama zahir, yang tengah sibuk mengurus harta kekayaan yang halal sebagai
suara peringatan tanda akan ada bahaya dan suara itu kurang diarahkannya kepada
pemabuk-pemabuk yang tengah berjudi di luar lingkungan Islam.
Pada hakikatnya tasawuf dapat
diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.
Seseorang tidak dapat memahami tasawuf kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi
kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya daripada keindahan
lahir, keindahan yang dapat diraba dengan pancaindera itu yaitu keindahan dan
kelezatan yang dihasilakan bumi, makanan yang dikeluarkan bumi dan segala benda
yang dihidangkan dan kemudian kembali kepadanya.
Ibarat keindahan yang dapat
mengagumkan anak-anak pada waktu kecil mula pertama mengenal dunia. Tatkala roh
dan jiwa mereka itu sudah matang, sudah meningkat lebih tinggi dan lebih
sempurna dalam menilai, maka semua keindahan lahir itu menjadi kecil dan remeh.
Mereka melepaskan alam dunia yang kasar itu maju memikirkan suatu keindahan
yang sesuai dengan perkembangan kekuatan dan kebersihan roh dan jiwa mereka
itu. Jadi tasawuf itu pada dzatnya pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu
hal keadaan yang lain, pindah dari alam kebendaan bumi kepada alam kerohanian
langit. Perpindahan atau peralihan ini selalu kelihatan pada diri manusia.
Sejalan dengan perubahan umurnya, berubah pula alam pikirannya. Tentu yang
demikian itu terjadi jika manusia mempergunakan akalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar