Oleh: Nanda Irwansyah
Abstrak
Hampir
setiap muslim meyakini pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan
politik. Namun, karena karakteristik Islam yang multi interpretatif, maka tidak
pernah ada pandangan tunggal tentang bagaimana Islam dan politik harus
berkorelasi dengan benar. Bahkan, sepanjang perjalanan sejarah intelektual dan
praktek politik Islam, ada dua spectrum pemikiran yang berbeda tentang politik
Islam dan konstitusi Islam. Keduanya mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam
dalam setiap aspek kehidupan, namun keduanya memiliki interpretasi yang berbeda
tentang ajaran-ajaran Islam dan relevansinya dalam kehidupan modern. Perbedaaan
tersebut bersumber pada bagaimana menafsirkan teks-teks agama yang berkaitan
dengan hubungan agama (Islam) dan Negara (politik).
Keyword:
Politik Islam dan Konstitusi Islam
Agama Islam merupakan agama yang paling mudah menerima instrument ilmiah
terkait realitas dunia. Premis ini alasan utamanya terletak pada ciri Islam
yang paling
menonjol, yaitu sifatnya yang hadir di mana-mana sebagai panduan
moral yang benar bagi tindakan manusia. Pandangan ini telah mendorong sejumlah
pemeluknya untuk meyakini bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.
Implementasinya dinyatakan dalam syari’ah (hukum Islam) bahkan
sebagian kalangan Islam melangkah lebih jauh dari itu, mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah
totalitas yang padu dan menawarkan solusi terhadap semua masalah kehidupan
manusia. Tidak diragukan lagi, mereka percaya akan sifat Islam yang sempurna
dan menyeluruh, sehingga menurut mereka Islam meliputi tiga ‘D’ (din: agama,
dunya: dunia, daulah: Negara). Dalam konteks sekarang, dunia menyaksikan
fenomena umat Islam yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan politik,
sosial dan ekonomi pada ajaran Islam secara komprehensif.
Pandangan holistik terhadap Islam, sebagaimana diungkapkan di atas
mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan itu telah
mendorong lahirnya sebuah kecendrungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya
yang menyeluruh. Kecenderungan seperti ini akan dapat dikembangkan dalam
konteks empirik manakala Islam dipahami secara kontekstual. Ini berarti bahwa
Islam yang empirik dan actual-karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial,
ekonomi dan politik-akan dipahami sesuai dengan konteksnya
Sumber utama pembentukan konstitusi dalam hukum Islam adalah Alquran dan
sunnah. Berhubung Alquran bukan undang-undang, karena tidak merinci secara
detail bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyatnya serta hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Alquran hanya memuat dasar-dasar atau prinsip umum
ketatanegaraan secara global. Oleh karena itu ayat yang masih global dijabarkan
oleh Nabi dalam sunnahnya, baik perkataan, perbuatan atau ketetapannya. Namun
dalam penerapannya tidak harus mutlak, karena Alquran dan sunnah sepenuhnya
menyerahkan kepada manusia untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta
menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial
masyarakatnya.
Bagi dunia, UUD tak tertulis bukan merupakan yang unik dan asing.
Sebenarnya, sampai dengan abad kedelapan belas struktur pemerintahan di seluruh
dunia bersandar pada UUD tak tertulis dan bahkan sampai saat ini pemerintahan
Inggris masing diselenggarakan tanpa UUD tertulis. Kapan saja umat Islam harus
menjadikan konstitusi dalam bentuk tertulis, maka harus menghimpun bahan-bahan
yang relevan dari kesemuanya seperti harus menggali hukum adat,
konvensi-konvensi konstitusional dan bisa menimbulkan kemaslahatan bagi warga
Negaranya.
Konsep Al
Maududi Tentang Negara Islam
Al Maududi (1990: 358) Negara Islam adalah Negara yang mempunyai sistem
tersendiri yang pada hakikatnya berbeda dengan Negara sekuler, baik menyangkut
sifat atau karakteristik maupun tujuannya. Menurut Maududi, Islam merupakan
antitesis dari demokrasi Barat, karena landasan filosofi demokrasi Barat adalah
kedaulatan rakyat sehingga dalam penentuan nilai-nilai dan norma perilaku
sepenuhnya berada di tangan rakyat. Muhammad Iqbal (2010: 180) Maududi
mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai kelemahan mendasar. Pertama
kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat meskipun sebagian
pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk
melestarikan kekuasaan yang mereka pegang. Kedua jika kekuasaan mutlak
untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law maker) harus
sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika
tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini
publik menuntutnya. Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas rakyat,
meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu harus
berjalan dan begitupun sebaliknya.
Dengan demikian, terlihat bahwa di satu pihak demokrasi hanya menjadi
tutup oligarki dan di lain pihak dapat menjadi alat untuk memanipulasi
kebenaran karena kebenaran diidentikkan dengan suara mayoritas. Begitu kerasnya
Maududi mengecam demokrasi, sehingga ia mengatakannya sebagai sistem musyrik
bahkan cenderung ke arah ilhad (atheisme). Dari pengertian ini pada
mulanya ia ingin mencocokkan pemikiran politik Islamnya dengan “Kerajaan Tuhan”
(Kingdom of God) atau teokrasi. Tetapi lanjut Maududi, teokrasi Islam
sama sekali berbeda dengan teokrasi yang pernah jaya di Barat. Maududi (1990:
158) melanjutkan:
“Jika saya
diperkenankan untuk menggunakan istilah baru, saya akan menyebut sistem
pemerintahan semacam ini “Teo Demokrasi”, yaitu suatu sistem pemerintahan
demokrasi Ilahi di mana rakyat mempunyai kebebasan berdaulat, akan tetapi
kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya
dari Tuhan. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat terbatas di bawah pengawasan
Tuhan (a limited popular soverignity under suzerainty of God).”
Menurut Maududi (1990: 227) ada empat sumber konstitusi Islam yang tidak
tertulis. Pertama, Alquran merupakan sumber yang paling utama, berisi
semua pedoman dan perintah fundamental dari Tuhan sendiri. Pedoman dan perintah
ini melingkupi semua sisi keberadaan manusia. Alquran tidak hanya akan
ditemukan pedoman-pedoman mengenai tindakan individu, tapi juga ada
prinsip-prinsip yang mengatur semua aspek kehidupan sosial dan budaya manusia. Kedua,
Al Sunnah menuntun manusia bagaimana caranya meyakinkan secara persis
maksud dan makna pedoman-pedoman Alquran. Dengan demikian, sunnah mengandung
berbagai warisan tak ternilai serta materi yang sangat penting mengenai praktek
perundang-undangan dan konvensi. Ketiga, berbagai konvensi Al Khulafa
Al Rasyidin, konvensi-konvensi ini merupakan sumber konstitusi Islam
ketiga. Sejak dini dalam Islam ada kesepakatan bahwa penafsiran-penafsiran
Alquran dan sunnah yang telah disetujui secara mufakat oleh semua sahabat serta
keputusan dari para khalifah berkenaan dengan masalah perundang-undangan dan
yudikatif yang diakui oleh para sahabat, seluruhnya mengikat semua pihak untuk
sepanjang zaman. Keempat, ketentuan para ahli hukum (fuqaha) ternama,
mungkin saja sifatnya tidak konklusif, tetapi dapat dijadikan pedoman terbaik
untuk memahami dengan tepat dan prinsip-prisip konstitusi Islam.
Menurut Maududi (1990: 229), usaha untuk menjadikan konstitusi tak
tertulis dalam bentuk tertulis akan dihadang oleh banyak kesulitan dan
rintangan. Ada empat poin utama yang menjadi kendala, pertama masalah
linguistik, istilah-istilah Alquran yang berhubungan dengan masalah
konstitusional seperti halnya dalam hadits dan fikih telah lama sekali tidak
digunakan dan saat ini menjadi sangat sulit untuk dipahami bahkan oleh kaum
terpelajar apalagi orang awam. Kedua timbul dari cara penghimpunan
literatur-literatur kuno yang tidak biasa. Dalam literatur klasik,
masalah-masalah konstitusional tidaklah diriwayatkan dibawah judul-judul
sendiri. Ketiga timbul dari sistem pendidikan Islam yang lemah,
dikarenakan orang-orang yang memilih cabang pengetahuan teologi pada umumnya
akan tetap buta mengenai-mengenai masalah modern seperti ilmu politik, ekonomi,
hukum konstitusional dan masalah yang timbul darinya. Keempat adalah
gugatan beberapa orang yang semakin berpengaruh untuk memberikan peraturan-peraturan
yang tidak mensyaratkan pemahaman Islam.
Al Maududi (1990: 245) mengharuskan adanya lembaga yang akan berfungsi
sebagai pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu tetap berpedoman kepada
kitab Allah dan sunnah secara ketat. Selanjutnya Maududi mengemukakan tiga
lembaga penting dan rakyat harus memberikan ketaatan terhadap Negara melalui
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga tersebut, yaitu lembaga
lesgilatif, eksekutif dan yudikatif.
1. Lembaga Legislatif
Menurut Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga
yang berdasarkan terminologi fikih disebut dengan lembaga penengah dan pemberi
fatwa atau sama dengan Ahl al Halli wa al ‘aqd. Dalam memformulasikan
hukum lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan Rasul dan
tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul
walaupun konsesus rakyat menghendakinya.
2. Lembaga Eksekutif
Tujuan lembaga ini adalah untuk menegakkan
pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan menganut pedoman
ini untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Alquran, terminologi uli
al amr pada dasarnya menunjukkan lembaga ini dan kaum muslimin
diperintahkan untuk patuh kepadanya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif
menaati Allah dan Rasul serta menghindari dosa. Lembaga ini di pimpin oleh
kepada Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif.
3. Lembaga Yudikatif
Dalam terminologi Islam, lembaga yudikatif sama dengan
lembaga peradilan atau qadha’. Lembaga peradilan berfungsi sebagai
penegak hukum Ilahi, menyelesaikan dan memutuskan dengan adil terhadap perkara
yang terjadi di antar warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari
segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini dapat membuat
keputusan yang sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut.
Maududi (1993: 252) Mengenai bagaimana hubungan antara lembaga eksekutif
dan legislatif, Maududi menyatakan bahwa kedua lembaga tersebut berfungsi
secara terpisah dan mandiri satu dengan yang lain. Lembaga legislatif berfungsi
sebagai badan penasihat kepala Negara yang bersangkutan dalam berbagai hal. Di
samping itu, kepala Negara harus mengadakan konsultasi atau musyawarah dengan
lembaga legislatif. Namun dalam berbagai hal kepada Negara boleh menerima atau
menolak suara mayoritas dan mengambil pendapatnya sendiri sesuai dengan
pertimbangannya. Di sini kepala Negara menurut Maududi mempunyai hak veto.
Maududi (1990: 232) Kesempatan untuk menjadi khalifah dan anggota
legislatif terbuka untuk seluruh warga Negara yang telah memenuhi syarat-syarat
tertentu. Maududi menetapkan dua jenis syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat
legal-formal dan syarat kualitas pribadi. Syarat legal formal terdiri dari,
muslim, laki-laki, berakal dan dewasa serta warga Negara Islam. Adapun syarat
kualitas adalah harus bersifat amanah, takwa, berwawasan, perkasa, tidak
menuruti hawa nafsu, tidak sombong dan tidak memiliki sifat tercela lainnya.
Masalah selanjutnya berkaitan dengan hak-hak asasi warga Negara dari
Negara Islam. Dalam Islam, hak asasi pertama warga Negara adalah melindungi
nyawa, harta dan martabat mereka, bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini
tidak akan dicampuri kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan legal. Hak kedua
adalah perlindungan atas kebebasan pribadi. Dalam Islam, kebebasan pribadi
tidak dapat dilanggar kecuali setelah melalui proses pembuktian yang meyakinkan
secara hukum dan memberi kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan.
Hak ketiga adalah kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan
masing-masing. Hak keempat adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua
warga Negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan.
Sebagai kebalikan dari hak-hak warga Negara, ada hak-hak tertentu Negara
atas para warganya. Di antara hak-hak Negara tersebut, yang menduduki peringkat
pertama adalah ketaatan terhadap perintah Negara. Hak Negara yang kedua adalah
bahwa rakyat harus setia terhadap Negara dan bekerja demi kemakmuran Negara.
Negara menuntut agar rakyat taat sepenuh hati, memiliki niat dan bekerja demi
kebaikan, kemakmuran dan perbaikan Negara dan jangan mentoleransi apapun yang
mungkin mengganggu kepentingan Negara.
Dalam pembahasan terdahulu mengenai siapa yang akan terpilih menjadi
anggota eksekutif dan legislatif Maududi hanya menyandarkan teorinya
berdasarkan seleksi alamiah di samping beberapa persyaratan lain yang harus
dipenuhi oleh kepala Negara, seperti muslim, pria, berusia dewasa dan berakal
sehat, warga Negara Islam dan mempunyai wawasan tentang sistem Islam. Menurut
penulis, ini adalah konsep yang rapuh dan apologies, karena sepanjang yang
menyangkut prasyarat sebagai kepala Negara masyarakat muslim telah
mengetahuinya. Namun sangat disayangkan adalah ketidakjelasan konsep Maududi
tentang siapa yang mengangkat dan menunjuk kepala Negara apabila terpilih dan
bagaimana pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot jabatannya dengan
cara bagaimana dan lembaga mana yang akan melakukannya.
Maududi menyerahkan urusan tersebut kepada umat Islam untuk menempuh
jalan yang mereka anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka, Islam tidak
mencontohkan cara tertentu untuk itu. Maududi seolah-olah pasrah dengan situasi
politik yang berkembang dengan tidak memberikan tuntutan ke arah penyelesaian
masalah. Suatu kejanggalan lagi yang tampak terlihat ialah bahwa setelah kepala
Negara diangkat sebagai pemimpin puncak, Maududi tidak menyatakan pendapatnya
tentang masa jabatan kepala Negara, apakah untuk waktu tertentu atau seumur
hidup.
Harus diakui, sintesa antara agama dan Negara di dunia Islam menunjukkan
jalan yang rumit namun unik. Selama ini terdapat tiga aliran untuk menunjukkan
bagaimana pola relasi yang terjadi antara agama dan Negara di dalam Islam. Pertama
aliran konservatif, yang tetap
mempertahankan integral antara agama dan Negara. Aliran ini berpendapat
bahwa Islam telah lengkap secara paripurna dalam mengatur sistem kemasyarakatan
termasuk di dalamnya masalah politik. Dalam pandangan integralistik, agama dan
Negara menyatu karenanya kepala Negara adalah pemegang kekuasaan agama dan
kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi
karena kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. Maududi termasuk salah
satu tokoh Islam yang memaksakan untuk mendirikan sebuah Negara beserta
konstitusinya dengan sistem integralistik.
Kedua, aliran modernis, aliran ini berpendapat bahwa Islam hanya mengatur
masalah kemasyarakatan secara garis besarnya saja sedangkan teknis
pelaksanaannya bisa saja mengadopsi sistem lain. Dengan kata lain, corak
pemikiran yang juga disebut simbiotik ini, agama memerlukan Negara karena
dengan Negara, agama dapat berkembang. Begitupun sebaliknya Negara juga
memerlukan agama, karena dengan agama Negara dapat berkembang dalam bimbingan
etika dan moral spiritual. Aliran ini menurut hemat penulis sangat cocok jika
dikolaborasikan dengan gagasan Al Maududi mengenai konsep Negara Islam beserta
konstitusinya, karena agama dan Negara saling menopang dan mengisi tanpa saling
berhadapan secara konfrontatif. Lebih tepat kiranya, jika relasi antara agama
dan Negara menganut model middle way (jalan tengah), di mana Negara
mengakui eksistensi agama dalam konstitusinya dan pada saat yang sama politik
agama tidak menguasai Negara.
Ketiga, aliran sekuler, yang berusaha memisahkan agama dan Negara. Menurut
aliran ini, Islam sebagaimana agama-agama lainnya tidak mengatur masalah
keduniaan, sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Barat. Paradigma
sekuleristik mengajukan pemisahan agama atas Negara dan pemisahan Negara atas
agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar