Selasa, 30 Mei 2017

Konstitusi Islam (Gagasan Abu Al A’la Al Maududi Tentang Negara Islam)



Oleh: Nanda Irwansyah



Abstrak
Hampir setiap muslim meyakini pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Namun, karena karakteristik Islam yang multi interpretatif, maka tidak pernah ada pandangan tunggal tentang bagaimana Islam dan politik harus berkorelasi dengan benar. Bahkan, sepanjang perjalanan sejarah intelektual dan praktek politik Islam, ada dua spectrum pemikiran yang berbeda tentang politik Islam dan konstitusi Islam. Keduanya mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, namun keduanya memiliki interpretasi yang berbeda tentang ajaran-ajaran Islam dan relevansinya dalam kehidupan modern. Perbedaaan tersebut bersumber pada bagaimana menafsirkan teks-teks agama yang berkaitan dengan hubungan agama (Islam) dan Negara (politik).
Keyword: Politik Islam dan Konstitusi Islam
Agama Islam merupakan agama yang paling mudah menerima instrument ilmiah terkait realitas dunia. Premis ini alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling
menonjol, yaitu sifatnya yang hadir di mana-mana sebagai panduan moral yang benar bagi tindakan manusia. Pandangan ini telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk meyakini bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.
Implementasinya dinyatakan dalam syari’ah (hukum Islam) bahkan sebagian kalangan Islam melangkah lebih jauh dari itu, mereka  menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu dan menawarkan solusi terhadap semua masalah kehidupan manusia. Tidak diragukan lagi, mereka percaya akan sifat Islam yang sempurna dan menyeluruh, sehingga menurut mereka Islam meliputi tiga ‘D’ (din: agama, dunya: dunia, daulah: Negara). Dalam konteks sekarang, dunia menyaksikan fenomena umat Islam yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan politik, sosial dan ekonomi pada ajaran Islam secara komprehensif.
Pandangan holistik terhadap Islam, sebagaimana diungkapkan di atas mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan itu telah mendorong lahirnya sebuah kecendrungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang menyeluruh. Kecenderungan seperti ini akan dapat dikembangkan dalam konteks empirik manakala Islam dipahami secara kontekstual. Ini berarti bahwa Islam yang empirik dan actual-karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial, ekonomi dan politik-akan dipahami sesuai dengan konteksnya
Sumber utama pembentukan konstitusi dalam hukum Islam adalah Alquran dan sunnah. Berhubung Alquran bukan undang-undang, karena tidak merinci secara detail bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyatnya serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Alquran hanya memuat dasar-dasar atau prinsip umum ketatanegaraan secara global. Oleh karena itu ayat yang masih global dijabarkan oleh Nabi dalam sunnahnya, baik perkataan, perbuatan atau ketetapannya. Namun dalam penerapannya tidak harus mutlak, karena Alquran dan sunnah sepenuhnya menyerahkan kepada manusia untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial masyarakatnya.
Bagi dunia, UUD tak tertulis bukan merupakan yang unik dan asing. Sebenarnya, sampai dengan abad kedelapan belas struktur pemerintahan di seluruh dunia bersandar pada UUD tak tertulis dan bahkan sampai saat ini pemerintahan Inggris masing diselenggarakan tanpa UUD tertulis. Kapan saja umat Islam harus menjadikan konstitusi dalam bentuk tertulis, maka harus menghimpun bahan-bahan yang relevan dari kesemuanya seperti harus menggali hukum adat, konvensi-konvensi konstitusional dan bisa menimbulkan kemaslahatan bagi warga Negaranya.
Konsep Al Maududi Tentang Negara Islam
Al Maududi (1990: 358) Negara Islam adalah Negara yang mempunyai sistem tersendiri yang pada hakikatnya berbeda dengan Negara sekuler, baik menyangkut sifat atau karakteristik maupun tujuannya. Menurut Maududi, Islam merupakan antitesis dari demokrasi Barat, karena landasan filosofi demokrasi Barat adalah kedaulatan rakyat sehingga dalam penentuan nilai-nilai dan norma perilaku sepenuhnya berada di tangan rakyat. Muhammad Iqbal (2010: 180) Maududi mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai kelemahan mendasar. Pertama kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang. Kedua jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law maker) harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik menuntutnya. Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas rakyat, meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu harus berjalan dan begitupun sebaliknya.
Dengan demikian, terlihat bahwa di satu pihak demokrasi hanya menjadi tutup oligarki dan di lain pihak dapat menjadi alat untuk memanipulasi kebenaran karena kebenaran diidentikkan dengan suara mayoritas. Begitu kerasnya Maududi mengecam demokrasi, sehingga ia mengatakannya sebagai sistem musyrik bahkan cenderung ke arah ilhad (atheisme). Dari pengertian ini pada mulanya ia ingin mencocokkan pemikiran politik Islamnya dengan “Kerajaan Tuhan” (Kingdom of God) atau teokrasi. Tetapi lanjut Maududi, teokrasi Islam sama sekali berbeda dengan teokrasi yang pernah jaya di Barat. Maududi (1990: 158) melanjutkan:
“Jika saya diperkenankan untuk menggunakan istilah baru, saya akan menyebut sistem pemerintahan semacam ini “Teo Demokrasi”, yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi di mana rakyat mempunyai kebebasan berdaulat, akan tetapi kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat terbatas di bawah pengawasan Tuhan (a limited popular soverignity under suzerainty of God).”
Menurut Maududi (1990: 227) ada empat sumber konstitusi Islam yang tidak tertulis. Pertama, Alquran merupakan sumber yang paling utama, berisi semua pedoman dan perintah fundamental dari Tuhan sendiri. Pedoman dan perintah ini melingkupi semua sisi keberadaan manusia. Alquran tidak hanya akan ditemukan pedoman-pedoman mengenai tindakan individu, tapi juga ada prinsip-prinsip yang mengatur semua aspek kehidupan sosial dan budaya manusia. Kedua, Al Sunnah menuntun manusia bagaimana caranya meyakinkan secara persis maksud dan makna pedoman-pedoman Alquran. Dengan demikian, sunnah mengandung berbagai warisan tak ternilai serta materi yang sangat penting mengenai praktek perundang-undangan dan konvensi. Ketiga, berbagai konvensi Al Khulafa Al Rasyidin, konvensi-konvensi ini merupakan sumber konstitusi Islam ketiga. Sejak dini dalam Islam ada kesepakatan bahwa penafsiran-penafsiran Alquran dan sunnah yang telah disetujui secara mufakat oleh semua sahabat serta keputusan dari para khalifah berkenaan dengan masalah perundang-undangan dan yudikatif yang diakui oleh para sahabat, seluruhnya mengikat semua pihak untuk sepanjang zaman. Keempat, ketentuan para ahli hukum (fuqaha) ternama, mungkin saja sifatnya tidak konklusif, tetapi dapat dijadikan pedoman terbaik untuk memahami dengan tepat dan prinsip-prisip konstitusi Islam.
Menurut Maududi (1990: 229), usaha untuk menjadikan konstitusi tak tertulis dalam bentuk tertulis akan dihadang oleh banyak kesulitan dan rintangan. Ada empat poin utama yang menjadi kendala, pertama masalah linguistik, istilah-istilah Alquran yang berhubungan dengan masalah konstitusional seperti halnya dalam hadits dan fikih telah lama sekali tidak digunakan dan saat ini menjadi sangat sulit untuk dipahami bahkan oleh kaum terpelajar apalagi orang awam. Kedua timbul dari cara penghimpunan literatur-literatur kuno yang tidak biasa. Dalam literatur klasik, masalah-masalah konstitusional tidaklah diriwayatkan dibawah judul-judul sendiri. Ketiga timbul dari sistem pendidikan Islam yang lemah, dikarenakan orang-orang yang memilih cabang pengetahuan teologi pada umumnya akan tetap buta mengenai-mengenai masalah modern seperti ilmu politik, ekonomi, hukum konstitusional dan masalah yang timbul darinya. Keempat adalah gugatan beberapa orang yang semakin berpengaruh untuk memberikan peraturan-peraturan yang tidak mensyaratkan pemahaman Islam.
Al Maududi (1990: 245) mengharuskan adanya lembaga yang akan berfungsi sebagai pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan sunnah secara ketat. Selanjutnya Maududi mengemukakan tiga lembaga penting dan rakyat harus memberikan ketaatan terhadap Negara melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga tersebut, yaitu lembaga lesgilatif, eksekutif dan yudikatif.
1.      Lembaga Legislatif
Menurut Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan terminologi fikih disebut dengan lembaga penengah dan pemberi fatwa atau sama dengan Ahl al Halli wa al ‘aqd. Dalam memformulasikan hukum lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan Rasul dan tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul walaupun konsesus rakyat menghendakinya.
2.      Lembaga Eksekutif
Tujuan lembaga ini adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan menganut pedoman ini untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Alquran, terminologi uli al amr pada dasarnya menunjukkan lembaga ini dan kaum muslimin diperintahkan untuk patuh kepadanya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif menaati Allah dan Rasul serta menghindari dosa. Lembaga ini di pimpin oleh kepada Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif.
3.      Lembaga Yudikatif
Dalam terminologi Islam, lembaga yudikatif sama dengan lembaga peradilan atau qadha’. Lembaga peradilan berfungsi sebagai penegak hukum Ilahi, menyelesaikan dan memutuskan dengan adil terhadap perkara yang terjadi di antar warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini dapat membuat keputusan yang sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut.
Maududi (1993: 252) Mengenai bagaimana hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, Maududi menyatakan bahwa kedua lembaga tersebut berfungsi secara terpisah dan mandiri satu dengan yang lain. Lembaga legislatif berfungsi sebagai badan penasihat kepala Negara yang bersangkutan dalam berbagai hal. Di samping itu, kepala Negara harus mengadakan konsultasi atau musyawarah dengan lembaga legislatif. Namun dalam berbagai hal kepada Negara boleh menerima atau menolak suara mayoritas dan mengambil pendapatnya sendiri sesuai dengan pertimbangannya. Di sini kepala Negara menurut Maududi mempunyai hak veto.
Maududi (1990: 232) Kesempatan untuk menjadi khalifah dan anggota legislatif terbuka untuk seluruh warga Negara yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Maududi menetapkan dua jenis syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat legal-formal dan syarat kualitas pribadi. Syarat legal formal terdiri dari, muslim, laki-laki, berakal dan dewasa serta warga Negara Islam. Adapun syarat kualitas adalah harus bersifat amanah, takwa, berwawasan, perkasa, tidak menuruti hawa nafsu, tidak sombong dan tidak memiliki sifat tercela lainnya.
Masalah selanjutnya berkaitan dengan hak-hak asasi warga Negara dari Negara Islam. Dalam Islam, hak asasi pertama warga Negara adalah melindungi nyawa, harta dan martabat mereka, bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan legal. Hak kedua adalah perlindungan atas kebebasan pribadi. Dalam Islam, kebebasan pribadi tidak dapat dilanggar kecuali setelah melalui proses pembuktian yang meyakinkan secara hukum dan memberi kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan. Hak ketiga adalah kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing. Hak keempat adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga Negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan.
Sebagai kebalikan dari hak-hak warga Negara, ada hak-hak tertentu Negara atas para warganya. Di antara hak-hak Negara tersebut, yang menduduki peringkat pertama adalah ketaatan terhadap perintah Negara. Hak Negara yang kedua adalah bahwa rakyat harus setia terhadap Negara dan bekerja demi kemakmuran Negara. Negara menuntut agar rakyat taat sepenuh hati, memiliki niat dan bekerja demi kebaikan, kemakmuran dan perbaikan Negara dan jangan mentoleransi apapun yang mungkin mengganggu kepentingan Negara.
Dalam pembahasan terdahulu mengenai siapa yang akan terpilih menjadi anggota eksekutif dan legislatif Maududi hanya menyandarkan teorinya berdasarkan seleksi alamiah di samping beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh kepala Negara, seperti muslim, pria, berusia dewasa dan berakal sehat, warga Negara Islam dan mempunyai wawasan tentang sistem Islam. Menurut penulis, ini adalah konsep yang rapuh dan apologies, karena sepanjang yang menyangkut prasyarat sebagai kepala Negara masyarakat muslim telah mengetahuinya. Namun sangat disayangkan adalah ketidakjelasan konsep Maududi tentang siapa yang mengangkat dan menunjuk kepala Negara apabila terpilih dan bagaimana pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot jabatannya dengan cara bagaimana dan lembaga mana yang akan melakukannya.
Maududi menyerahkan urusan tersebut kepada umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka, Islam tidak mencontohkan cara tertentu untuk itu. Maududi seolah-olah pasrah dengan situasi politik yang berkembang dengan tidak memberikan tuntutan ke arah penyelesaian masalah. Suatu kejanggalan lagi yang tampak terlihat ialah bahwa setelah kepala Negara diangkat sebagai pemimpin puncak, Maududi tidak menyatakan pendapatnya tentang masa jabatan kepala Negara, apakah untuk waktu tertentu atau seumur hidup.
Harus diakui, sintesa antara agama dan Negara di dunia Islam menunjukkan jalan yang rumit namun unik. Selama ini terdapat tiga aliran untuk menunjukkan bagaimana pola relasi yang terjadi antara agama dan Negara di dalam Islam. Pertama aliran konservatif, yang tetap  mempertahankan integral antara agama dan Negara. Aliran ini berpendapat bahwa Islam telah lengkap secara paripurna dalam mengatur sistem kemasyarakatan termasuk di dalamnya masalah politik. Dalam pandangan integralistik, agama dan Negara menyatu karenanya kepala Negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi karena kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. Maududi termasuk salah satu tokoh Islam yang memaksakan untuk mendirikan sebuah Negara beserta konstitusinya dengan sistem integralistik.
Kedua, aliran modernis, aliran ini berpendapat bahwa Islam hanya mengatur masalah kemasyarakatan secara garis besarnya saja sedangkan teknis pelaksanaannya bisa saja mengadopsi sistem lain. Dengan kata lain, corak pemikiran yang juga disebut simbiotik ini, agama memerlukan Negara karena dengan Negara, agama dapat berkembang. Begitupun sebaliknya Negara juga memerlukan agama, karena dengan agama Negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Aliran ini menurut hemat penulis sangat cocok jika dikolaborasikan dengan gagasan Al Maududi mengenai konsep Negara Islam beserta konstitusinya, karena agama dan Negara saling menopang dan mengisi tanpa saling berhadapan secara konfrontatif. Lebih tepat kiranya, jika relasi antara agama dan Negara menganut model middle way (jalan tengah), di mana Negara mengakui eksistensi agama dalam konstitusinya dan pada saat yang sama politik agama tidak menguasai Negara.
Ketiga, aliran sekuler, yang berusaha memisahkan agama dan Negara. Menurut aliran ini, Islam sebagaimana agama-agama lainnya tidak mengatur masalah keduniaan, sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Barat. Paradigma sekuleristik mengajukan pemisahan agama atas Negara dan pemisahan Negara atas agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar