Selasa, 30 Mei 2017

PEMIMPIN NON MUSLIM (HARAMKAH ATAU MUBAH)



Oleh: Nanda Irwansyah

Kepemimpinan apapun bentuk atau nama dan cirinya serta ditinjau dari sudut pandang manapun, selalu harus berlandaskan kebajikan dan kemaslahatan serta mengantar kepada kemajuan. Kepemimpinan antara lain harus dapat menentukan arah, menciptakan peluang dan melahirkan hal-hal baru melalui inovasi pemimpin yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif, kreatifitas dan dinamika berfikir. Seorang pemimpin berbeda dengan seorang manajer. Manajer antara lain bersifat reaktif dan responsive terhadap perubahan dan masalah yang dihadapinya. Sedangkan pemimpin bersifat
proaktif, visioner, prediktif,, menciptakan dan membentuk perubahan. Manajer sangat peduli untuk mengerjakan sesuatu dengan benar sementara pemimpin lebih peduli untuk mengerjakan sesuatu yang benar. Karena itu, manajer melibatkan hal-hal yang sudah mapan sesuai aturan agar implementasinya efisien dan efektif sedangkan pemimpin melibatkan aktifitas baru yang relevan untuk kebutuhan dan kesempatann yang akan datang, serta mengejarkan sesuatu berdasarkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial.
Dari gambaran diatas, maka berbicara soal kepemimpinan mengundang kita berbicara tentang manusia dan potensinya. Karena seorang pemimpin diharapkan dapat tampil sebaik mungkin dan karena itu pula semua potensi dan daya yang dimilikinya perlu dikembangkan. Mereduksi potensi dan daya manusia sama saja dengan melahirkan anak cacat, yang pasti tidak akan hidup berkualitas apalagi berhasil memimpin.
Dalam konteks pemimpin non muslim, terjadi diskusi dikalangan ulama yang berkaitan dengan keterlibatan non muslim dalam pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan kata minkum (dari golongan kamu orang-orang mukmin) pada surat an nisa ayat 58 yang berbicara tentang ulil amri maupun dalam ayat-ayat lain yang secara tekstual melarang mengangkat orang-orang yahudi dan nasrani sebagai auliya (yang biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah  QS. Al Maidah ayat 51. Pakar tafsir kenamaan Muhamamad Rasyid Ridha (Modernis) sambil menunjuk kepada kenyataan sejarah masa Khalifah Umar r.a dan dinasti Muawiyah dan Abbasiyah, memahami ayat ini dan ayat-ayat semacamnya secara kontekstual. Pakar ini merujuk kepada firman Allah dalam surat Al Imran ayat 118 dan menjadikannya sebab larangan tersebut.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Ayat diatas tulis Rasyid Ridha mengandung larangan dan penyebabnya. Jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin atau teman kepercayaan ialah mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi kaum muslim serta telah banyak tampak dari ucapan mereka kebencian. Allah SWT tulis Rasyid Ridha yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro dan kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang mukmin, namun berbalik membantu kaum muslim dalam beberapa peperangan di Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi.[1]
Dari sini terlihat bahwa Alquran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Alquran memerintahkan agar setiap umat Islam berpacu dalam kebajikan bahkan Alquran sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslim dari kampung halaman mereka.
Kriteria dan karakteristik pemimpin menurut Alquran adalah beriman, amanah, adil dan berkepribadian Rasuliy dengan syarat-syarat ketat yaitu berpengalaman, mampu memberantas kebatilan, dapat diteladani dan ditaati, toleran, shiddiq, sabar, fathanah, tablig, berwibawa, sehat jasmani dan rohani, tidak cacat tubuh, berilmu, memiliki solidaritas dan pmempunyai pengaruh besar ditengah-tengah masyarakat.
Sementara itu, implikasi kajian ini adalah sangat penting diketahui terma-terma atau istilah yang terkait dengan pemimpin dan kepemimpinan. Begitu pula redaksi-redaksi ayat tentang pemimpin perlu diinterpretasikan lebih lanjut sehingga kriteria pemimpin menurut Alquran benar-benar dapat dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.


[1]M. Quraish Syihab, Wawasan Alquran...,hlm.566.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar