Oleh: Nanda Irwansyah
Kepemimpinan apapun bentuk atau nama dan cirinya serta ditinjau
dari sudut pandang manapun, selalu harus berlandaskan kebajikan dan kemaslahatan
serta mengantar kepada kemajuan. Kepemimpinan antara lain harus dapat
menentukan arah, menciptakan peluang dan melahirkan hal-hal baru melalui
inovasi pemimpin yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif, kreatifitas
dan dinamika berfikir. Seorang pemimpin berbeda dengan seorang manajer. Manajer
antara lain bersifat reaktif dan responsive terhadap perubahan dan masalah yang
dihadapinya. Sedangkan pemimpin bersifat
proaktif, visioner, prediktif,,
menciptakan dan membentuk perubahan. Manajer sangat peduli untuk mengerjakan
sesuatu dengan benar sementara pemimpin lebih peduli untuk mengerjakan sesuatu
yang benar. Karena itu, manajer melibatkan hal-hal yang sudah mapan sesuai
aturan agar implementasinya efisien dan efektif sedangkan pemimpin melibatkan
aktifitas baru yang relevan untuk kebutuhan dan kesempatann yang akan datang,
serta mengejarkan sesuatu berdasarkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab
sosial.
Dari gambaran diatas, maka berbicara soal kepemimpinan mengundang
kita berbicara tentang manusia dan potensinya. Karena seorang pemimpin
diharapkan dapat tampil sebaik mungkin dan karena itu pula semua potensi dan
daya yang dimilikinya perlu dikembangkan. Mereduksi potensi dan daya manusia
sama saja dengan melahirkan anak cacat, yang pasti tidak akan hidup berkualitas
apalagi berhasil memimpin.
Dalam konteks pemimpin non muslim, terjadi
diskusi dikalangan ulama yang berkaitan dengan keterlibatan non muslim dalam
pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan kata minkum (dari
golongan kamu orang-orang mukmin) pada surat an nisa ayat 58 yang berbicara
tentang ulil amri maupun dalam ayat-ayat lain yang secara tekstual
melarang mengangkat orang-orang yahudi dan nasrani sebagai auliya (yang
biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah QS. Al Maidah ayat 51. Pakar tafsir kenamaan
Muhamamad Rasyid Ridha (Modernis) sambil menunjuk kepada kenyataan sejarah masa
Khalifah Umar r.a dan dinasti Muawiyah dan Abbasiyah, memahami ayat ini dan
ayat-ayat semacamnya secara kontekstual. Pakar ini merujuk kepada firman Allah
dalam surat Al Imran ayat 118 dan menjadikannya sebab larangan tersebut.
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di
luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar
lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.
Ayat diatas tulis Rasyid Ridha mengandung
larangan dan penyebabnya. Jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat,
sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin atau teman kepercayaan
ialah mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi kaum
muslim serta telah banyak tampak dari ucapan mereka kebencian. Allah SWT
tulis Rasyid Ridha yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan
sikap pro dan kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk
agama seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang yahudi yang pada awal
masa Islam begitu benci terhadap orang mukmin, namun berbalik membantu kaum
muslim dalam beberapa peperangan di Andalusia atau seperti halnya orang-orang
Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi.[1]
Dari sini terlihat bahwa Alquran tidak
menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerja sama
apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Alquran memerintahkan agar setiap
umat Islam berpacu dalam kebajikan bahkan Alquran sama sekali tidak melarang kaum
muslim untuk berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun,
selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslim
dari kampung halaman mereka.
Kriteria dan karakteristik pemimpin menurut
Alquran adalah beriman, amanah, adil dan berkepribadian Rasuliy dengan
syarat-syarat ketat yaitu berpengalaman, mampu memberantas kebatilan, dapat
diteladani dan ditaati, toleran, shiddiq, sabar, fathanah, tablig,
berwibawa, sehat jasmani dan rohani, tidak cacat tubuh, berilmu, memiliki
solidaritas dan pmempunyai pengaruh besar ditengah-tengah masyarakat.
Sementara itu,
implikasi kajian ini adalah sangat penting diketahui terma-terma atau istilah
yang terkait dengan pemimpin dan kepemimpinan. Begitu pula redaksi-redaksi ayat
tentang pemimpin perlu diinterpretasikan lebih lanjut sehingga kriteria
pemimpin menurut Alquran benar-benar dapat dipahami dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar