KARAKTERISTIK PENERAPAN KONSTITUSI ISLAM
ERA MODERN
(Ejakulasi Tanpa Orgasme)
Oleh: Nanda Irwansyah
Sejarah umat manusia telah menyaksikan
kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan yang luas berikut kebudayaannya
masing-masing. Barangkali tak ada kebangkitan yang lebih mempesonakan selain
kebangkitan peradaban Islam, baik lantaran cepatnya meluas maupun lantaran
perkembangan warisan budayanya yang kaya itu. Peradaban Islam menampilkan
sistem yang cocok, sikap pandang yang mendunia dan pandangan hidup yang memberi
arti dan arah hidup kepada pemeluk-pemeluk Islam selama dua belas abad lamanya.
Namun pada zaman modern (abad 19 dan 20)
agama Islam tampaknya menghadapi tantangan-tantangan yang paling berat, baik di
bidang politik maupun bidang ideologik. Pokok permasalahannya adalah, apakah
Islam mampu
memenuhi kebutuhan kehidupan modern di bidang politik, sosial dan
ekonomi.
Gerakan
pembaharuan Islam pada zaman baru (modern) sering dilukiskan secara sederhana
sekali sebagai reaksi dan respon terhadap imperialisme Barat, yakni dominasi
politik dan kebudayaan oleh kekuasaan kolonial pihak eropa. Walau bagaimana
pun, akar gerakan pembaharuan itu berpangkal pada dua sumber, yakni sumber
Islam dan sumber Barat. Guna memahamkan politik Islam pada abad ke19 dan 20
memerlukan pemahaman tentang watak dan warisan (revivalisme)[1] yang berbicara tentang kelemahan
masyarakat Islam di sebelah dalam dan pula pemahaman tentang gerakan
pembaharuan Islam yang memberikan tanggapan terhadap tantangan kolonialisme
Barat.
Periode
modern yang berlangsung sejak abad ke 19 (kolonialisme) hingga sekarang.
Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negeri-negeri muslim. Ada
tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Islam modern. Pertama kemunduran
dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang
berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua rongrongan
Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir
dengan dominasi atau penjajahan oleh Negara-negara Barat atas sebagian besar
wilayah dunia Islam dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat
permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga keunggulan Barat dalam bidang
ilmu, teknologi dan organisasi.
Pembaharuan Islam timbul dalam periode
sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam
kepada kemajuan. Sebelum masuk ke dalam pokok masalah, ada baiknya diuraikan terlebih
dahulu sejarah Islam secara ringkas, bukan hanya untuk mengetahui waktu mulanya
periode modern itu tetapi juga untuk mellihat perkembangan maju mundurnya umat
Islam yang terjadi dalam sejarah.
Harun Nasution (1975: 5) Periode klasik
merupakan zaman kemajuan dan dibagi menjadi dua fase. Pertama fase ekspansi,
integrasi dan puncak kemajuan. Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui
Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di
Timur. Kedua fase disintegrasi, di masa ini keutuhan umat Islam dalam bidang
politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dapat
dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu tahun 1258 M. Khalifah sebagai lambang
kesatuan politik umat Islam hilang. Pada periode pertengahan juga dibagi ke
dalam dua fase, pertama fase kemunduran. Di zaman ini desentralisasi dan
disintegrasi bertambah meningkat. Kedua fase tiga kerajaan besar yang dimulai
dengan zaman kemajuan dan zaman kemunduran. Tiga kerajaan besar yang dimaksud
ialah kerajaan Usmani di Turki, kerajaaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal
di India.
Periode modern merupakan zaman kebangkitan
umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban
baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka
agama Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat
Islam kembali. Di periode modern inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam
Islam. Semenjak permulaan abad ke 18 banyak wilayah Islam menghadapi akibat
tantangan ekonom dan militer pihak Barat yang tengah memodernisir dirinya.
Pergeseran besar dalam bidang kekuasaan terjadi, yang sebagai akibat
kemerosotan nasib muslim. Terjadilah hubungan yang sebaliknya antara pihak
Islam dengan pihak Barat, yakni dari suatu gerakan ekspansif yang demikian
meluas pada masa sebelumnya kepada posisi bertahan.
John L Esposito (1990: 210) Selama tahap
masa sesudah memperoleh kemerdekaan, Negara-negara muslim yang baru muncul
menghadapi tugas yang luar biasa. Bagi kebanyakannya, proses pembentukan bangsa
modern masih saja mengikuti dominasi politik dan militer kolonial Barat beserta
keterikatan ekonomi. Pengalaman mereka terhadap kolonial Barat sekarang ini
didahului oleh masa lampau imperium Islam yang berkian abad. Bagi lapisan elit
modern, warisan Islam mereka sekalipun masih berlaku dalam kehidupan kerohanian
dianggap sudah tidak relevan terhadap kebutuhan dan tuntutan politik modern dan
masyarakat modern. Oleh karena modernisasi dan industrialisasi berasal dari
Barat, akan tetapi bangsa-bangsa Barat itu sendiri dalam masa sekian abad
bergulat dengan masalah-masalah pembaharuan keagamaan dan pembentukan bangsa
modern. Masalah identitas dan ideologi nasional, perkembangan lembaga
pemerintahan dan hukum tetap berkelanjutan, andaipun belum sepenuhnya memadami.
Sebab berlangsung ketegangan-ketegangan rasionalisme sehabis masa pencerahan
beserta revolusi industri, maka perubahan berkelanjutan dalam konteks sejarah
dan tradisi barat. Jalan sekuler yang ditempuh oleh Attaturk dan jalan “Islam”
yang ditempuh Saudi Arabia memberikan pola penyelesaian, yang dipaksakan dari
atas oleh penguasa otokrat. Bagi kebanyakan wilayah muslim lainnya seumpama Mesir,
Syria, Pakistan atau Oman, bagan-bagan kolonial yang diwarisi dilanjutkan dan
disisipi dengan perubahan-perubahan yang sesuai dengan kebutuhan Negara ataupun
sesuai dengan rujukan-rujukan dari para penguasanya.
Mereka berhutang budi amat berat sekali terhadap
model-model pihak Barat, Islam hanya memainkan sikap selektif dalam hal yang
dipandang perlu dan berguna. Walau bagaimanapun, organisasi-organisasi Islam
seumpama Ikhwanul Muslimin dan Jama’at Islami bersikap mengutuk kegagalan
Negara-negara modern dalam dunia Islam disebabkan mencari ilham dari Barat dan
gagal menyadari akar identitasnya berserta perkembangan sosio-politik secara
langsung dalam Islam.
Setelah memahami dinamika dan perdebatan
dalam pemikiran Islam (baik yang fundamentalis, modernis (neo-)modernis,
liberal maupun tradisionalis), pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa. Pertama
apa yang dipikirkan secara teoritis dan bertakik-takik oleh para tokoh dan
intelektual muslim ternyata kosong belaka, dalam arti tidak ada isinya, selain
hanya abang-abang lambe atau lipstick. Sekali dilumat oleh mulut atau
arus pemikiran lain, maka pemikiran Islam menghilang tak berbekas. Hal yang
wajar jika saya mengatakan hukum Islam atau pemerintahan Islam (di Negara
mayoritas muslim) konstitusinya hanya sebatas “ejakulasi” “tanpa orgasme”.
Kedua. Pemikiran Islam itu (baik yang
fundamentalis, modernis, (neo-)modernis, liberal maupun tradisionalis) sejak
dari asumsi dasarnya memang tidak diniatkan untuk kepentingan umat di kalangan
bawah. Pemikiran Islam hanyalah komoditi yang dengannya elit agama (ulama
zahir) mencari dan memperebutkan status, pengaruh, kekuasaan dan kenikmatan
dunia yang lain. Karena menjadi barang komoditi, ia akan hadir dan menghilang
sesuai dengan trend yang ada, dimana trend itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak
ditentukan oleh mereka sendiri.
Ketiga. Dengan dua kecendrungan seperti itu, maka
dengan sendirinya pemikiran Islam itu sudah mengandung bias, ironi dan paradoks
sejak lahir yang justru mengabadikan status penafsir agama kelas elit dan pada
saat yang sama melanggengkan status umat bawah sebagai kelas rendahan yang
harus tunduk pada elit.
[1]Revival,
ikhtiar menghidupkan kembali perasaan keagamaan, kebangkitan, reform, ikhtiar
memberikan bentuk baru kembali. Pembaharuan pendukung kedua gerakan itu
di panggil revival atau reformis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar