oleh: Nanda Irwansyah
Sejarah Islam
mewariskan khazanah tradisi politik yang sangat kaya, dimulai dari masa
Rasulullah, Khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan
hingga masa sekarang. Jika khazanah itu dikonsepsikan sangat mungkin melahirkan
keanekaragaman teori pemikiran politik. Namun yang menarik perhatian setidaknya
dimasa periode awal Islam, khazanah itu lebih dominan melahirkan teori-teori firkah
dalam Islam yang sekarang sering disebut aliran teologi/kalam, bukan
melahirkan teori politik, meskipun sesungguhnya akar persoalannya berawal dari
pertikaian politik.
Memasuki
periode pertengahan, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran. Berbagai
doktrin yang dikembangkan pada masa sebelumnya tidak efektif lagi dihadapkan
kepada situasi objektif. Maka pada periode pertengahan itu lahirlah pemikiran
politik yang berbeda dengan sunni periode klasik, yang salah satunya
dipresentasikan oleh Ibnu Taymiyah.
Lahirnya suatu
pemikiran sangat erat kaitanya dengan konteks sosial sebagai faktor yang
melatarinya. Sebuah pemikiran lahir umumnya setelah mengalami proses dialektika
sosial yang panjang, karena itu tidak dapat memisahkan diri dari faktor
situasional yang mengitarinya. Untuk memahami pemikiran seorang pemikir secara
objektif, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni perkembangan
intelektualitasnya dan realitas objektif yang mengitari hidupnya. Pengetahuan
atas perkembangan intelektual seorang pemikir, akan dapat terhindarkan dari
jalan subjektifitas dan simplifikasi. Sedang pengetahuan atas realitas objektif
akan dapat menangkap faktor-faktor yang mendorongnya untuk mengartikulasikan
ide, pandangan dan sikapnya, bahkan metode yang ditempuh untuk merealisasikan
gagasan-gagasan yang digunakan. Demikian juga Ibnu Taymiyah, sebagai pemikir
yang realistis, di atas realitas politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai
jawaban terhadap tantangan keadaan yang berkembang di masanya.
Nama lengkap
Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd as-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah.
Lahir di Haran dekat Damaskus, Suria pada tahun 661 H atau tahun 1263M, lima
tahun setelah jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar, yang berarti pula
berakhirnya dinasti Abbasiyah. Di Damaskus semula dia belajar dari ayahnya
sendiri Abu Al-Mahasin Abdu Al-Halima yang merupakan seorang ulama terkemuka
dari mazhab Hambali, yang kemudian berguru kepada Ali Zain Al-Din Al-Muqaddasi,
Najm al-Din bin Asakir, Zainab binti Maki, dan lain-lain. Pada usia dua puluh
tahun, ketika ayahnya tutup usia, dia mulai memperlihatkan perhatian besar
untuk mempelajari fiqh Hambali, disamping mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, Hadist,
dan Teologi.[1]
Ibnu Taimiyah
hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi
sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Seperti diketahui, sudah lama
kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada di tangan khalifah yang bertahta di
Baghdad, melainkan pada penguasa-penguasa wilayah atau daerah, baik yang
bergelar sultan, raja atau amir. Tetapi wilayah kekuasaan mereka kemudian
dipersempit atau bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari
timur atau oleh Krusades dari barat.[2]
Ibnu Taimiyah
memainkan peran penting dalam masyarakat Muslim pada masanya. Setelah wafatnya,
rumusan tradisi Hambali tetap menjadi sebuah unsur penting dalam budaya
keagamaan wilayah-wilayah Islam. Akan tetapi, secara umum unsur ini tenggelam,
hingga kesadaran terhadapnya bangkit kembali pada abad ke-18M oleh gerakan
keagamaan yang memiliki pengaruh politik. Yaitu, gerakan Wahhabiyyah yang
membawa kepada terciptanya negara Saudi di Arabi tengah. Meskipun terdapat kontradiksi
yang tajam antara pandangan keislaman Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Arabi, watak
dasar komunitas Sunni yang toleran memungkinkan mereka untuk hidup bersama, dan
beberapa Muslim benar-benar mampu mendamaikan kedua pandangan tersebut. [3]
Plato
dilahirkan dengan Aristokles. Dia lahir di Pulau Aegina dekat Athena pada tahun
428 SM dan meninggal pada tahun 347SM di Akademia dekat Athena juga. Menurut
laporan Aristoteles, guru pertama Plato adalah Kratylos, seorang murid dari
Heraklitos. Meskipun demikian ajaran-ajaran Kratylos tidak membekas dalam diri
Plato, ketimbang Sokrates yang menjadi gurunya sejak ia berusia 20 tahun.
Ada banyak
cerita tentang kekaguman Plato terhadap Sokrates, bahkan segala karyanya
seolah-olah merupakan monumen yang sengaja dibangun untuk mengenang gurunya.
Hal seperti ini mungkin tidak terlalu salah. Sebab diakui juga bahwa peristiwa
eksekusi atas Sokrates meninggalkan luka yang teramat dalam pada diri Plato.
Dan pada tahun 385SM Plato mendirikan Akademia dan semua ilmu yang
diajarkan oleh Plato di Akademia selama kira-kira 40 tahun diberi nama
”filsafat”. Ketika Plato meninggal, sekolah yang menjadi model bagi perguruan
tinggi di abad pertengahan Eropa maupun zaman modern itu bertahan sampai
delapan abad berikutnya, yakni sampai Kaisar Yustinianus I pendiri Kekaisaran
Romawi Timur menutupnya pada tahun 529M. Alasan Yustinianus I menutup Akademia
adalah karena ia khawatir filsafat Yunani, termasuk ajaran Plato akan
menghambat agama Nasrani.[4]
Hampir semua
karya Plato ditulis dalam bentuk dialog, artinya tanya-jawab, dimana sejumlah
persoalan diajukan dan jawaban diberikan. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
(1768-1834) telah membagi karya Plato dalam tiga bagian utama. Berikut ini
adalah daftar karya Plato yang disusun oleh Schleiermacher menurut proses
pematangan pemikirannya:[5]
- Karya dasar (Foundation), dimana pikiran-pikiran Sokrates lebih ditonjolkan: Phaidros, Lysis, Protagoras, Lakhes, Kharmides, Euthypro, dan Parmenides. Karena naskah-naskah ini lebih mencerminkan pikiran Sokrates.
- Masa transisi (Transition), dimana Plato mulai beralih kepada pandangannya sendiri: Gorgias, Theaithetos, Meno, Euthydermos, Kratylos, Sophist, Politikos (The Statesman), Symposion, Phaedo dan Philebos.
- Masa Puncak (Culmination), dimana Plato mengajukan konsep pemikirannya sendiri: Politeia (Republic), Kritias (Kritias), Timaeos, dan Nomoi (The Laws).
Konsep Pembentukan Negara Ibnu Taymiyyah
Dalam proses
pembentukan negara, Ibnu Taymiyyah memandang bahwa pembentukan negara adalah
suatu yang amat penting dan menjadi sebuah kewajiban besar dalam beragama. Ibnu
Taymiyyah berpendapat, bahwa tanpa adanya negara, agama tidak akan bisa
dijalankan secara penuh. Dan karena menjalankan agama secara penuh adalah
sebuah kewajiban, maka, membentuk negara juga merupakan sebuah kewajiban.
Ibnu Taymiyyah menganggap bahwa, keberadaan negara dibutuhkan juga
demi mewujudkan penegakan hukum. Yang mana, hukum yang dimaksud oleh Ibnu
Taymiyyah adalah hukum yang tersurat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dan
penegarakan hukum ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, yang mana keadilan
ini dibutuhkan demi mewujudkan kesejahteraan umat.
Potensi Kerja dan Wewenang Menurut Ibnu Taymiyyah
Cukup menarik,
pada sistem teori Plato, ada yang disebut sebagai potensi kerja. Potensi kerja
sederhananya adalah memposisikan potensi yang ada pada struktur masyarakat
untuk yang menelurkan potensi untuk memegang wewenang pemerintahan. Pada Bab
pembahasan Al-Wilayat, dalam karyanya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Ibnu Taymiyyah
mengungkapkan bahwa Al-Wilayat adalah macam pertama dari menjalankan amanat
(adaul amanat).[6]
Pada keterangan dan penjelasan tentang Al-Wilayat, Ibnu Taymiyyah mengarahkan
Al-Wilayat ini pada potensi kerja dan pembagian tugas sesuai dengan keahlian
masing-masing. Seperti tugas untuk memberikan perintah, keahlian ini dimiliki
oleh para Sultan, panglima perang, dan petinggi pemerintahan. Juga tugas dan
keahlian dalam permasalahan ekonomi, yang juga dimiliki oleh para ahli ekonomi,
yang membuat wilayah dalam hal ekonomi sudah seharusnya diserahkan pada
ahlinya.[7]
Pada titik ini, Ibnu Taymiyyah memberikan semacam motivasi – untuk menghindari
kata ancaman- dengan teks-teks agama untuk meyakinkan bahwa Wilayah (kekuasaan,
amanah) harus diserahkan pada yang ahli, atau minimal sudah terbiasa
melakukannya. Atau lebih lanjut, kekuasaan dan pemerintahan harus diserahkan
pada yang sudah terbiasa berkuasa dan memerintah. Hal ini diperkuat kembali
dengan pernyataan Ibnu Taymiyyah bahwa Al-Wilayat sebagai bentuk amanat, tidak
boleh diminta, tetapi boleh diserahkan. Hal ini juga –menurut Ibnu Taymiyyah-
didukung oleh teks riwayat hadits yang melarang untuk menyerahkan Al-Wilayat
kepada orang yang memintanya, tetapi harus menyerahkan Al-Wilayat kepada para
ahli di bidangnya masing masing.[8]
Kemudian, pada
akhir pembahasan, pada paragraf terakhir pembahasan Al-Wilayat sebagai macam
Amanat,[9]
Ibnu Taymiyyah semakin mempertegas dan menguatkan posisi seorang Al-Wali (yang
memegang Al-Wilayat), atau penguasa (Ruler) untuk sebagai salah satu bentuk
perwakilan Tuhan di bumi untuk para hamba-hamba Tuhan pada daerah kekuasannnya.
Ibnu Taymiyyah
memberikan batasan pada Al-Wali, atau pemegang kekuasaan agar memiliki Al-Quwwah
wal Amanah. Titik tekan Al-Quwwah dijabarkan sebagai Ilmu tentang keadilan dan
kekuatan/kuasa untuk menjalankan atau menegakkan hukum. Sedangkan amanat adalah
bersumber pada ketakutan pada Tuhan dan menghilangkan ketakutan kepada manusia.[10]
Dua hal ini,
menurut Ibnu Taymiyyah adalah dua pilar dalam Al-Wilayat. Dua pilar ini
sejatinya saling menopang, akan tetapi pada keadaan tertentu, Ibnu Taymiyyah
tidak membatasi mana yang harus dikedepankan. Lebih melihat pada kebutuhan
suatu golongan atau komunitas. Pada titik ini, Qomarudin Khan memberikan
komentar, bahwa Ibnu Taymiyyah secara tidak langsung telah membebaskan umat
untuk dipimpin oleh penguasanya masing-masing. Dan juga membuka kemungkinan
untuk adanya Imam –pemimpin agama dan negara- lebih dari satu di muka bumi ini.
Dan menolak konsep pemimpin
dari golongan Syi’ah (Al-Imamah) yang menyatakan Imam adalah keturunan Nabi.[11] Juga tidak menerima secara penuh konsep kriteria pemimpin yang suguhkan
oleh sebagian golongan
Sunni dengan 4 kriteria Khalifah yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah.[12]
Dalam proses
penunjukkan seorang pemimpin (ruler), Ibnu Taymiyyah juga tidak secara jelas
dan kosisten untuk menyebut seorang pemimpin. Dalam As-Siyah Asy-Syar’iyyah,
terkadang Ibnu Taymiyyah menggunakan istilah Imam, juga terkadang menggunakan
istilah Sulthan. Akan tetapi pendapat yang disampaikan dalam pembahasan
Al-Wilayat lebih menunjukkan indikasi penyerahan kekuasaan pada penguasa, atau
yang sudah biasa berkuasa. Dengan dasar Al-Wilayah adalah sesuatu yang tidak
boleh diminta, tetapi harus diserahkan.
Akan tetapi,
Ibnu Taymiyyah sangat menekankan adanya seorang pemimpin (ruler, al-wilayah)
untuk mewujudkan kelestarian perkara-perkara agama. Bagi Ibnu Taymiyyah, tugas
utama dari seorang Ruler adalah menegakkan agama demi memperbaiki keadaan
keduniaan. Dan melaksanakan tugas ini (membentuk negara) dengan tujuan agama,
adalah sebuah tugas yang sangat mulia, bahkan Ibnu Taymiyyah menekankan dengan
menyebutnya sebagai seorang mujahid yang paling utama.[13]
Juga tugas utama dalam Al-Wilayat ada dua macam; yang pertama, mengatur
jalannya roda perekonomian (membagi harta kepada para pemegang haknya), dan
juga mencegah dan memberantas musuh.
Secara garis
besar, pada titik ini, potensi kerja dan pemangku pemerintahan menurut Ibnu
Taymiyyah lebih fleksibel daripada konsep-konsep yang ditawarkan oleh sebagian
golongan Ahlu Sunnah. Dengan kata lain, lebih mendukung kepada pemerintahan
yang sudah terbentuk, dan menguatkan posisi penguasa pada masanya. Hal ini juga
bisa saja dipengaruhi oleh penulisan karya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah yang
merupakan sebuah permintaan dari penguasa pada masa Ibnu Taymiyyah.[14]
Keadilan dan Kesejahteraan
Keadilan,
menurut Ibnu Taymiyyah terdiri dari dua komponen. Martabat (al-muruah) dan
kebajikan (al-ihsan). Komponen keadilan ini adalah wewenang dari para pemangku
jabatan yang harus diwujudkan demi terwujudnya kesejahteraan anggota
masyarakat. Keadilan menurut Ibnu Taymiyyah adalah hanya yang ada dan tersurat
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman utama teks-teks keagamaan. Adapun
dimensi keadilan atas dasar perilaku sosial, juga harus dikembalikan dan
dipandang dari sudut pandang teks.
Dan dalam
rangka usaha mewujudkan keadilan, harus diwujudkan melalui penegakan hukum.
Menurut Ibnu Taymiyyah, penegakan hukum terdiri atas dua komponen. Pertama
adalah batasan-batasan agama – ketuhanan (hududullah). Yang kedua adalah
dimensi hak-hak antar manusia (huquq bayna an-nas). Dan kesemuanya, harus
bersandar pada teks-teks agama.
Batasan-batasan
Tuhan (hududullah) adalah hukum tentang ketentuan-ketentuan keagamaan Islam.
Termasuk pula hukum tentang pelaksanaan ibadah. Selain pelaksanaan hukuman
kepada pelanggar ketentuan seperti pencurian dan pembunuhan, juga merambah pada
orang-orang yang meninggalkan kewajiban peribadatan keagamaan seperti shalat,
puasa, dan zakat. Menurut Ibnu Taymiyyah, dengan mengutip pendapat para sarjana
muslim sebelumnya, orang yang meninggalkan kewajiban tersebut juga wajib diberi
hukuman oleh pemerintahan.[15]
Karena penegakan peribadatan ini memiliki maksud yang paling besar adalah dalam
rangka al-amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar.
Tetapi ada
sedikit kerancuan pada pembahasan ini. Pada satu sisi, Ibnu Taymiyyah mengutip
berbagai pendapat tentang pelaksanaan hukuman untuk orang-orang yang
meninggalkan kewajiban peribadahan agama oleh pemerintah. Sedangkan pada
paragraf berikutnya, Ibnu Taymiyyah mengungkapkan perwujudan hukum seperti ini
sebagai upaya agar agama Islam terwujud sepenuhnya milik Allah SWT.[16]
Hal ini cukup kontradiktif, pada satu sisi, pemerintah (penguasa) memiliki
otoritas Tuhan terhadap tanggung jawab peribadahan agama: memberikan hukuman
pada orang-orang yang meninggalkan kewajiban ibadah sehari-hari. Tapi pada sisi
lain, juga menggunakan dalih agar mewujudkan agama adalah milik Tuhan
sepenuhnya.
Yang kedua adalah penegakan hukum tentang hak-hak antar manusia,
yang tentu saja masih terbatas pada sandaran teks-teks keagamaan, dan tidak
banyak membahas sandaran pada perilaku sosial. Jikapun menuju terwujudnya kemaslahatan,
masih dibatasi kemaslahatan yang tersurat pada teks Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seperti pembahasan hukuman pada pencuri, orang yang berzina, dan pada
pemberontak. Hal ini mengindikasikan titik tekan wewenang dalam pemerintahan
adalah penegakan hukum.
Secara garis
besar, hal ini tidak terlepas dari komponen teori Ibnu Taymiyyah dalam
pemerintahan, yaitu terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan terwujudnya
keadilan yang bersumber pada teks-teks keagamaan.
Pemikiran Politik Plato
Ajaran politik
Plato mengumpamakan suatu negara ideal yang mendekati utopia. Hasrat manusia
untuk bernegara tidak lahir dari dorongan untuk membangun negara, melainkan
kelemahan yang memaksanya untuk hidup secara kolektif. Namun kehidupan seperti
itu membutuhkan manajemen yang bertujuan untuk menjamin pengadaan serta
distribusi bahan-bahan kebutuhan hidup.
Plato membagi membagi golongan masyarakat dalam bekerja menjadi
tiga golongan, yaitu:[17]
a.
Golongan penguasa, adalah golongan yang ditempati oleh mereka yang
paling bijaksana, yang terdiri dari para filsuf yang paling memahami persoalan
kehidupan.
b.
Golongan pejuang, adalah golongan yang bertugas menjaga keamanan
dalam arti menjamin bahwa rakyat mentaati para penguasa dan menangkal serbuan
dari luar negeri.
c.
Golong pekerja, adalah golongan yang terdiri dari petani, tukang,
pengrajin, dan pedagang yang bertugas memastikan pemasokan dan distribusi
barang-barang kebutuhan hidup dari masyarakat.
Walaupun keadilan
merupakan tujuan akhir dari organisasi kenegaraan, prinsip keluarga dan hak
milik tidak diakui dalam system itu. Negara ideal Plato diperintah secara
aristokratis (yang diperintah oleh orang-orang terbaik di antara warga negara, Ariston).
Atau dengan kata lain sistem yang dimimpikan oleh Plato itu merupakan
totalirisme sepenuhnya. Namun keadaan seperti itu tidak akan berlangsung terus
karena merupakan proses yang tunduk pada dialektik yang disebutnya siklus
konstitusional. Dalam siklus konstitusional itu aristokrasi akan digilas oleh
timokrasi yang merupakan masa peralihan menuju oligarki yang mengandalkan
kapital. Karena kekuasaan berdasarkan kekayaan cenderung menimbulkan ketegangan
baru, maka demokrasi akan naik daun, namun pada gilirannya akan member angin
pada anarki.
Plato menawarkan antiklimaks dalam Nomoi, dimana negara
ideal tidak lagi bertumpu pada pada aristokrasi, melainkan pada undang-undang (nomoi,
atau hukum). Pemerintahan ideal jadinya bukan lagi merupakan perwujudan
dari aristokrasi, demokrasi, atau tirani, melainkan dari penyelenggaraan
nomokrasi. Dalam sistem hukum Inggris setelah zaman Renaissance, nomokrasi ini
oleh John Locke (1632-1704) disebut sebagai “government of laws, not of
men”, yang merupakan prinsip dasar dari apa yang sekarang kita kenal the
rule of law.[18]
Kesimpulan
1.
Pada buku As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Ibnu Taymiyyah, ditemukan pola
yang cukup identik tetang konsep pembentukan pemerintahan beseta dengan
komponen-komponen pembentuknya. Perbedaan yang mendasar terletak pada penerapan
dasar dan asas dalam pembentukan tiap komponen. Ibnu Taymiyyah menitikberatkan
pada dogma-dogma teks keagamaan. Sedangkan
dalam struktur dan cara kerja, ditemukan pola yang cukup identik.
2.
Plato dalam teori sistemnya, juga menekankan kinerja sistem dalam
pemerintahan. Sedangkan Ibnu Taymiyyah, lebih menekankan pada kriteria seorang
pemimpin yang berdasar pada kebutuhan masyarakat sekitarnya. Yang tentunya,
harus selaras dan bersandar pada teks keagamaan.
3.
Plato dan Ibnu Taymiyyah sama-sama menekankan penegakan hukum demi
terwujudnya keadilan di tatanan masyarakat.
Penutup
Politik dan pemerintahan adalah sesuatu bukan sesuatu yang statis.
Dinamika tatanan sosial akan selalu mempengaruhi munculnya realita-realita
politik yang baru. Menyandarkan suatu hal yang dinamis seperti realita
sosial-politik, terhadap pemahaman yang statis terhadap teks bukanlah suatu hal
yang bijak untuk diterapkan. Dan sudah sewajarnya, dalam proses perkembangan
dinamika sosial, harus diiringi dengan dinamika pemikiran rasional. Karena
dinamika sosial politik adalah cerita tentang manusia; yang hidup dan
berkehidupan di bumi manusia.
[1]
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Universitas Indonesia: Jakarta
1990), hlm. 79
[2] Ibid
hlm. 80
[3]
Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, (Bandung: Mizan 2004),
hlm. 357
[4]
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik, (Jalan Sutra :
Yogyakarta 2013), hlm.183-185
[5] Ibid
hlm. 186-187
[7]
Ibid.
[8]
Ibid., hlm. 8.
[9]
Ibid., hlm. 11.
[10]
Ibid., hl 13.
[12] Pertama,
Imam harus seorang dari suku Quraisy. Kedua, harus ditunjuk oleh Ahl
Halli wal Aqdi. Ketiga, dibaiat oleh seluruh umat Muslim. Keempat,
memiliki kemampuan untuk menegakkan keadilan. Dikutip oleh Qomarudin Khan dari
kitab Minhaj.
[13]
Ibnu Taymiyyah. As-Siyasah Asy-Syar’iyyah.....hlm. 22.
[14]
Ibid., hlm. 5.
[15]
Ibid., hlm. 60.
[17] Ibid
hlm.210
[18] Ibid
hlm. 211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar