Selasa, 16 Mei 2017

IBNU TAYMIYYAH DALAM AS-SIYASAH ASY-SYAR’IYYAH STUDI KOMPARASI DENGAN SISTEM TEORI PLATO


oleh: Nanda Irwansyah


Sejarah Islam mewariskan khazanah tradisi politik yang sangat kaya, dimulai dari masa Rasulullah, Khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan hingga masa sekarang. Jika khazanah itu dikonsepsikan sangat mungkin melahirkan keanekaragaman teori pemikiran politik. Namun yang menarik perhatian setidaknya dimasa periode awal Islam, khazanah itu lebih dominan melahirkan teori-teori firkah dalam Islam yang sekarang sering disebut aliran teologi/kalam, bukan melahirkan teori politik, meskipun sesungguhnya akar persoalannya berawal dari
pertikaian politik.
Memasuki periode pertengahan, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran. Berbagai doktrin yang dikembangkan pada masa sebelumnya tidak efektif lagi dihadapkan kepada situasi objektif. Maka pada periode pertengahan itu lahirlah pemikiran politik yang berbeda dengan sunni periode klasik, yang salah satunya dipresentasikan oleh Ibnu Taymiyah.
Lahirnya suatu pemikiran sangat erat kaitanya dengan konteks sosial sebagai faktor yang melatarinya. Sebuah pemikiran lahir umumnya setelah mengalami proses dialektika sosial yang panjang, karena itu tidak dapat memisahkan diri dari faktor situasional yang mengitarinya. Untuk memahami pemikiran seorang pemikir secara objektif, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni perkembangan intelektualitasnya dan realitas objektif yang mengitari hidupnya. Pengetahuan atas perkembangan intelektual seorang pemikir, akan dapat terhindarkan dari jalan subjektifitas dan simplifikasi. Sedang pengetahuan atas realitas objektif akan dapat menangkap faktor-faktor yang mendorongnya untuk mengartikulasikan ide, pandangan dan sikapnya, bahkan metode yang ditempuh untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang digunakan. Demikian juga Ibnu Taymiyah, sebagai pemikir yang realistis, di atas realitas politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai jawaban terhadap tantangan keadaan yang berkembang di masanya.
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd  as-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah. Lahir di Haran dekat Damaskus, Suria pada tahun 661 H atau tahun 1263M, lima tahun setelah jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar, yang berarti pula berakhirnya dinasti Abbasiyah. Di Damaskus semula dia belajar dari ayahnya sendiri Abu Al-Mahasin Abdu Al-Halima yang merupakan seorang ulama terkemuka dari mazhab Hambali, yang kemudian berguru kepada Ali Zain Al-Din Al-Muqaddasi, Najm al-Din bin Asakir, Zainab binti Maki, dan lain-lain. Pada usia dua puluh tahun, ketika ayahnya tutup usia, dia mulai memperlihatkan perhatian besar untuk mempelajari fiqh Hambali, disamping mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, Hadist, dan Teologi.[1]
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Seperti diketahui, sudah lama kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada di tangan khalifah yang bertahta di Baghdad, melainkan pada penguasa-penguasa wilayah atau daerah, baik yang bergelar sultan, raja atau amir. Tetapi wilayah kekuasaan mereka kemudian dipersempit atau bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari timur atau oleh Krusades dari barat.[2]
Ibnu Taimiyah memainkan peran penting dalam masyarakat Muslim pada masanya. Setelah wafatnya, rumusan tradisi Hambali tetap menjadi sebuah unsur penting dalam budaya keagamaan wilayah-wilayah Islam. Akan tetapi, secara umum unsur ini tenggelam, hingga kesadaran terhadapnya bangkit kembali pada abad ke-18M oleh gerakan keagamaan yang memiliki pengaruh politik. Yaitu, gerakan Wahhabiyyah yang membawa kepada terciptanya negara Saudi di Arabi tengah. Meskipun terdapat kontradiksi yang tajam antara pandangan keislaman Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Arabi, watak dasar komunitas Sunni yang toleran memungkinkan mereka untuk hidup bersama, dan beberapa Muslim benar-benar mampu mendamaikan kedua pandangan tersebut. [3]
Plato dilahirkan dengan Aristokles. Dia lahir di Pulau Aegina dekat Athena pada tahun 428 SM dan meninggal pada tahun 347SM di Akademia dekat Athena juga. Menurut laporan Aristoteles, guru pertama Plato adalah Kratylos, seorang murid dari Heraklitos. Meskipun demikian ajaran-ajaran Kratylos tidak membekas dalam diri Plato, ketimbang Sokrates yang menjadi gurunya sejak ia berusia 20 tahun.
Ada banyak cerita tentang kekaguman Plato terhadap Sokrates, bahkan segala karyanya seolah-olah merupakan monumen yang sengaja dibangun untuk mengenang gurunya. Hal seperti ini mungkin tidak terlalu salah. Sebab diakui juga bahwa peristiwa eksekusi atas Sokrates meninggalkan luka yang teramat dalam pada diri Plato. Dan pada tahun 385SM Plato mendirikan Akademia dan semua ilmu yang diajarkan oleh Plato di Akademia selama kira-kira 40 tahun diberi nama ”filsafat”. Ketika Plato meninggal, sekolah yang menjadi model bagi perguruan tinggi di abad pertengahan Eropa maupun zaman modern itu bertahan sampai delapan abad berikutnya, yakni sampai Kaisar Yustinianus I pendiri Kekaisaran Romawi Timur menutupnya pada tahun 529M. Alasan Yustinianus I menutup Akademia adalah karena ia khawatir filsafat Yunani, termasuk ajaran Plato akan menghambat agama Nasrani.[4]
Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog, artinya tanya-jawab, dimana sejumlah persoalan diajukan dan jawaban diberikan. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) telah membagi karya Plato dalam tiga bagian utama. Berikut ini adalah daftar karya Plato yang disusun oleh Schleiermacher menurut proses pematangan pemikirannya:[5]
  1.  Karya dasar (Foundation), dimana pikiran-pikiran Sokrates lebih ditonjolkan: Phaidros, Lysis, Protagoras, Lakhes, Kharmides, Euthypro, dan Parmenides. Karena naskah-naskah ini lebih mencerminkan pikiran Sokrates.
  2.  Masa transisi (Transition), dimana Plato mulai beralih kepada pandangannya sendiri: Gorgias, Theaithetos, Meno, Euthydermos, Kratylos, Sophist, Politikos (The Statesman), Symposion, Phaedo dan Philebos.
  3. Masa Puncak (Culmination), dimana Plato mengajukan konsep pemikirannya sendiri: Politeia (Republic), Kritias (Kritias), Timaeos, dan Nomoi (The Laws).





Konsep Pembentukan Negara Ibnu Taymiyyah
Dalam proses pembentukan negara, Ibnu Taymiyyah memandang bahwa pembentukan negara adalah suatu yang amat penting dan menjadi sebuah kewajiban besar dalam beragama. Ibnu Taymiyyah berpendapat, bahwa tanpa adanya negara, agama tidak akan bisa dijalankan secara penuh. Dan karena menjalankan agama secara penuh adalah sebuah kewajiban, maka, membentuk negara juga merupakan sebuah kewajiban.


Ibnu Taymiyyah menganggap bahwa, keberadaan negara dibutuhkan juga demi mewujudkan penegakan hukum. Yang mana, hukum yang dimaksud oleh Ibnu Taymiyyah adalah hukum yang tersurat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dan penegarakan hukum ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, yang mana keadilan ini dibutuhkan demi mewujudkan kesejahteraan umat.



Potensi Kerja dan Wewenang Menurut Ibnu Taymiyyah
Cukup menarik, pada sistem teori Plato, ada yang disebut sebagai potensi kerja. Potensi kerja sederhananya adalah memposisikan potensi yang ada pada struktur masyarakat untuk yang menelurkan potensi untuk memegang wewenang pemerintahan. Pada Bab pembahasan Al-Wilayat, dalam karyanya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Ibnu Taymiyyah mengungkapkan bahwa Al-Wilayat adalah macam pertama dari menjalankan amanat (adaul amanat).[6] Pada keterangan dan penjelasan tentang Al-Wilayat, Ibnu Taymiyyah mengarahkan Al-Wilayat ini pada potensi kerja dan pembagian tugas sesuai dengan keahlian masing-masing. Seperti tugas untuk memberikan perintah, keahlian ini dimiliki oleh para Sultan, panglima perang, dan petinggi pemerintahan. Juga tugas dan keahlian dalam permasalahan ekonomi, yang juga dimiliki oleh para ahli ekonomi, yang membuat wilayah dalam hal ekonomi sudah seharusnya diserahkan pada ahlinya.[7] Pada titik ini, Ibnu Taymiyyah memberikan semacam motivasi – untuk menghindari kata ancaman- dengan teks-teks agama untuk meyakinkan bahwa Wilayah (kekuasaan, amanah) harus diserahkan pada yang ahli, atau minimal sudah terbiasa melakukannya. Atau lebih lanjut, kekuasaan dan pemerintahan harus diserahkan pada yang sudah terbiasa berkuasa dan memerintah. Hal ini diperkuat kembali dengan pernyataan Ibnu Taymiyyah bahwa Al-Wilayat sebagai bentuk amanat, tidak boleh diminta, tetapi boleh diserahkan. Hal ini juga –menurut Ibnu Taymiyyah- didukung oleh teks riwayat hadits yang melarang untuk menyerahkan Al-Wilayat kepada orang yang memintanya, tetapi harus menyerahkan Al-Wilayat kepada para ahli di bidangnya masing masing.[8]
Kemudian, pada akhir pembahasan, pada paragraf terakhir pembahasan Al-Wilayat sebagai macam Amanat,[9] Ibnu Taymiyyah semakin mempertegas dan menguatkan posisi seorang Al-Wali (yang memegang Al-Wilayat), atau penguasa (Ruler) untuk sebagai salah satu bentuk perwakilan Tuhan di bumi untuk para hamba-hamba Tuhan pada daerah kekuasannnya.
Ibnu Taymiyyah memberikan batasan pada Al-Wali, atau pemegang kekuasaan agar memiliki Al-Quwwah wal Amanah. Titik tekan Al-Quwwah dijabarkan sebagai Ilmu tentang keadilan dan kekuatan/kuasa untuk menjalankan atau menegakkan hukum. Sedangkan amanat adalah bersumber pada ketakutan pada Tuhan dan menghilangkan ketakutan kepada manusia.[10]
Dua hal ini, menurut Ibnu Taymiyyah adalah dua pilar dalam Al-Wilayat. Dua pilar ini sejatinya saling menopang, akan tetapi pada keadaan tertentu, Ibnu Taymiyyah tidak membatasi mana yang harus dikedepankan. Lebih melihat pada kebutuhan suatu golongan atau komunitas. Pada titik ini, Qomarudin Khan memberikan komentar, bahwa Ibnu Taymiyyah secara tidak langsung telah membebaskan umat untuk dipimpin oleh penguasanya masing-masing. Dan juga membuka kemungkinan untuk adanya Imam –pemimpin agama dan negara- lebih dari satu di muka bumi ini. Dan menolak konsep pemimpin dari golongan Syi’ah (Al-Imamah) yang menyatakan Imam adalah keturunan Nabi.[11] Juga tidak menerima secara penuh konsep kriteria pemimpin yang suguhkan oleh sebagian golongan Sunni dengan 4 kriteria Khalifah yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah.[12]
Dalam proses penunjukkan seorang pemimpin (ruler), Ibnu Taymiyyah juga tidak secara jelas dan kosisten untuk menyebut seorang pemimpin. Dalam As-Siyah Asy-Syar’iyyah, terkadang Ibnu Taymiyyah menggunakan istilah Imam, juga terkadang menggunakan istilah Sulthan. Akan tetapi pendapat yang disampaikan dalam pembahasan Al-Wilayat lebih menunjukkan indikasi penyerahan kekuasaan pada penguasa, atau yang sudah biasa berkuasa. Dengan dasar Al-Wilayah adalah sesuatu yang tidak boleh diminta, tetapi harus diserahkan.
Akan tetapi, Ibnu Taymiyyah sangat menekankan adanya seorang pemimpin (ruler, al-wilayah) untuk mewujudkan kelestarian perkara-perkara agama. Bagi Ibnu Taymiyyah, tugas utama dari seorang Ruler adalah menegakkan agama demi memperbaiki keadaan keduniaan. Dan melaksanakan tugas ini (membentuk negara) dengan tujuan agama, adalah sebuah tugas yang sangat mulia, bahkan Ibnu Taymiyyah menekankan dengan menyebutnya sebagai seorang mujahid yang paling utama.[13] Juga tugas utama dalam Al-Wilayat ada dua macam; yang pertama, mengatur jalannya roda perekonomian (membagi harta kepada para pemegang haknya), dan juga mencegah dan memberantas musuh.
Secara garis besar, pada titik ini, potensi kerja dan pemangku pemerintahan menurut Ibnu Taymiyyah lebih fleksibel daripada konsep-konsep yang ditawarkan oleh sebagian golongan Ahlu Sunnah. Dengan kata lain, lebih mendukung kepada pemerintahan yang sudah terbentuk, dan menguatkan posisi penguasa pada masanya. Hal ini juga bisa saja dipengaruhi oleh penulisan karya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah yang merupakan sebuah permintaan dari penguasa pada masa Ibnu Taymiyyah.[14]

Keadilan dan Kesejahteraan
Keadilan, menurut Ibnu Taymiyyah terdiri dari dua komponen. Martabat (al-muruah) dan kebajikan (al-ihsan). Komponen keadilan ini adalah wewenang dari para pemangku jabatan yang harus diwujudkan demi terwujudnya kesejahteraan anggota masyarakat. Keadilan menurut Ibnu Taymiyyah adalah hanya yang ada dan tersurat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman utama teks-teks keagamaan. Adapun dimensi keadilan atas dasar perilaku sosial, juga harus dikembalikan dan dipandang dari sudut pandang teks.
Dan dalam rangka usaha mewujudkan keadilan, harus diwujudkan melalui penegakan hukum. Menurut Ibnu  Taymiyyah, penegakan  hukum terdiri atas dua komponen. Pertama adalah batasan-batasan agama – ketuhanan (hududullah). Yang kedua adalah dimensi hak-hak antar manusia (huquq bayna an-nas). Dan kesemuanya, harus bersandar pada teks-teks agama.
Batasan-batasan Tuhan (hududullah) adalah hukum tentang ketentuan-ketentuan keagamaan Islam. Termasuk pula hukum tentang pelaksanaan ibadah. Selain pelaksanaan hukuman kepada pelanggar ketentuan seperti pencurian dan pembunuhan, juga merambah pada orang-orang yang meninggalkan kewajiban peribadatan keagamaan seperti shalat, puasa, dan zakat. Menurut Ibnu Taymiyyah, dengan mengutip pendapat para sarjana muslim sebelumnya, orang yang meninggalkan kewajiban tersebut juga wajib diberi hukuman oleh pemerintahan.[15] Karena penegakan peribadatan ini memiliki maksud yang paling besar adalah dalam rangka al-amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar.
Tetapi ada sedikit kerancuan pada pembahasan ini. Pada satu sisi, Ibnu Taymiyyah mengutip berbagai pendapat tentang pelaksanaan hukuman untuk orang-orang yang meninggalkan kewajiban peribadahan agama oleh pemerintah. Sedangkan pada paragraf berikutnya, Ibnu Taymiyyah mengungkapkan perwujudan hukum seperti ini sebagai upaya agar agama Islam terwujud sepenuhnya milik Allah SWT.[16] Hal ini cukup kontradiktif, pada satu sisi, pemerintah (penguasa) memiliki otoritas Tuhan terhadap tanggung jawab peribadahan agama: memberikan hukuman pada orang-orang yang meninggalkan kewajiban ibadah sehari-hari. Tapi pada sisi lain, juga menggunakan dalih agar mewujudkan agama adalah milik Tuhan sepenuhnya.
Yang kedua adalah penegakan hukum tentang hak-hak antar manusia, yang tentu saja masih terbatas pada sandaran teks-teks keagamaan, dan tidak banyak membahas sandaran pada perilaku sosial. Jikapun menuju terwujudnya kemaslahatan, masih dibatasi kemaslahatan yang tersurat pada teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti pembahasan hukuman pada pencuri, orang yang berzina, dan pada pemberontak. Hal ini mengindikasikan titik tekan wewenang dalam pemerintahan adalah penegakan hukum.
Secara garis besar, hal ini tidak terlepas dari komponen teori Ibnu Taymiyyah dalam pemerintahan, yaitu terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan terwujudnya keadilan yang bersumber pada teks-teks keagamaan.

Pemikiran Politik Plato
Ajaran politik Plato mengumpamakan suatu negara ideal yang mendekati utopia. Hasrat manusia untuk bernegara tidak lahir dari dorongan untuk membangun negara, melainkan kelemahan yang memaksanya untuk hidup secara kolektif. Namun kehidupan seperti itu membutuhkan manajemen yang bertujuan untuk menjamin pengadaan serta distribusi bahan-bahan kebutuhan hidup.
Plato membagi membagi golongan masyarakat dalam bekerja menjadi tiga golongan, yaitu:[17]
a.       Golongan penguasa, adalah golongan yang ditempati oleh mereka yang paling bijaksana, yang terdiri dari para filsuf yang paling memahami persoalan kehidupan.
b.      Golongan pejuang, adalah golongan yang bertugas menjaga keamanan dalam arti menjamin bahwa rakyat mentaati para penguasa dan menangkal serbuan dari luar negeri.
c.       Golong pekerja, adalah golongan yang terdiri dari petani, tukang, pengrajin, dan pedagang yang bertugas memastikan pemasokan dan distribusi barang-barang kebutuhan hidup dari masyarakat.
Walaupun keadilan merupakan tujuan akhir dari organisasi kenegaraan, prinsip keluarga dan hak milik tidak diakui dalam system itu. Negara ideal Plato diperintah secara aristokratis (yang diperintah oleh orang-orang terbaik di antara warga negara, Ariston). Atau dengan kata lain sistem yang dimimpikan oleh Plato itu merupakan totalirisme sepenuhnya. Namun keadaan seperti itu tidak akan berlangsung terus karena merupakan proses yang tunduk pada dialektik yang disebutnya siklus konstitusional. Dalam siklus konstitusional itu aristokrasi akan digilas oleh timokrasi yang merupakan masa peralihan menuju oligarki yang mengandalkan kapital. Karena kekuasaan berdasarkan kekayaan cenderung menimbulkan ketegangan baru, maka demokrasi akan naik daun, namun pada gilirannya akan member angin pada anarki.
Plato menawarkan antiklimaks dalam Nomoi, dimana negara ideal tidak lagi bertumpu pada pada aristokrasi, melainkan pada undang-undang (nomoi, atau hukum). Pemerintahan ideal jadinya bukan lagi merupakan perwujudan dari aristokrasi, demokrasi, atau tirani, melainkan dari penyelenggaraan nomokrasi. Dalam sistem hukum Inggris setelah zaman Renaissance, nomokrasi ini oleh John Locke (1632-1704) disebut sebagai “government of laws, not of men”, yang merupakan prinsip dasar dari apa yang sekarang kita kenal the rule of law.[18]


Kesimpulan
1.      Pada buku As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Ibnu Taymiyyah, ditemukan pola yang cukup identik tetang konsep pembentukan pemerintahan beseta dengan komponen-komponen pembentuknya. Perbedaan yang mendasar terletak pada penerapan dasar dan asas dalam pembentukan tiap komponen. Ibnu Taymiyyah menitikberatkan pada dogma-dogma teks keagamaan. Sedangkan  dalam struktur dan cara kerja, ditemukan pola yang cukup identik.
2.      Plato dalam teori sistemnya, juga menekankan kinerja sistem dalam pemerintahan. Sedangkan Ibnu Taymiyyah, lebih menekankan pada kriteria seorang pemimpin yang berdasar pada kebutuhan masyarakat sekitarnya. Yang tentunya, harus selaras dan bersandar pada teks keagamaan.
3.      Plato dan Ibnu Taymiyyah sama-sama menekankan penegakan hukum demi terwujudnya keadilan di tatanan masyarakat.
Penutup
Politik dan pemerintahan adalah sesuatu bukan sesuatu yang statis. Dinamika tatanan sosial akan selalu mempengaruhi munculnya realita-realita politik yang baru. Menyandarkan suatu hal yang dinamis seperti realita sosial-politik, terhadap pemahaman yang statis terhadap teks bukanlah suatu hal yang bijak untuk diterapkan. Dan sudah sewajarnya, dalam proses perkembangan dinamika sosial, harus diiringi dengan dinamika pemikiran rasional. Karena dinamika sosial politik adalah cerita tentang manusia; yang hidup dan berkehidupan di bumi manusia.



[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Universitas Indonesia: Jakarta 1990), hlm. 79
[2] Ibid hlm. 80
[3] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, (Bandung: Mizan 2004), hlm. 357
[4] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik, (Jalan Sutra : Yogyakarta 2013), hlm.183-185
[5] Ibid hlm. 186-187
[6] Ibnu Taymiyyah. As-Siyasah Syar’iyyah... Hlm. 7.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 8.
[9] Ibid., hlm. 11.
[10] Ibid., hl 13.
[11] Qamarudin Khan. Political Thought of Ibnu Taymiyyah.... Hlm. 82.
[12] Pertama, Imam harus seorang dari suku Quraisy. Kedua, harus ditunjuk oleh Ahl Halli wal Aqdi. Ketiga, dibaiat oleh seluruh umat Muslim. Keempat, memiliki kemampuan untuk menegakkan keadilan. Dikutip oleh Qomarudin Khan dari kitab Minhaj.
[13] Ibnu Taymiyyah. As-Siyasah Asy-Syar’iyyah.....hlm. 22.
[14] Ibid., hlm. 5.
[15] Ibid., hlm. 60.
[16] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik.... hlm. 59.
[17] Ibid hlm.210
[18] Ibid hlm. 211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar